pelanggaran kode etik psikologi
03.29 | Author: alinaksi ahmad


Di Indonesia, Himpunan Psikologi Indonesia telah membuat kode etik tersendiri yang menjadi acuan bagi para insan psikologi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai psikolog. Kode etik tersebut selayaknya dijunjung tinggi dan menjadi landasan dalam semua aktifitas yang berkaitan dengan psikologi di Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya banyak hal yang terkait dengan aktifitas psikologi yang tidak sesuai dengan kode etik yang ada. Semua itu bisa dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap kode etik psikologi.
Pelanggaran terhadap kode etik sangat merugikan bagi banyak pihak. Pihak psikolog akan dirugikan terkait dengan profesionalitas kerjanya, sedangkan klien atau pengguna jasa psikolog akan dirugikan juga karena pelayanan yang diberikan tentu tidak akan maskimal sehingga haknya untuk selalu mendapat pelayanan yang terbaik akan terganggu.
Sebagai contoh dari pelanggaran kode etik tersebut adalah fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya bimbingan konseling atau yang sering disingkat sebagai BK. Tugas BK adalah memberikan layanan bagi para siswa baik itu siswa SD, SMP, ataupun SMA terkait degan permasalahan yang dihadapi mereka dengan cara konseling.
Keterampilan konseling merupakan salah satu keahlian yang dimiliki oleh seorang psikolog, akan tetapi dalam kenyataannya banyak sekali guru-guru BK yang menjadi psikolog dadakan apabila siswanya menghadapi permasalahan. Mereka memberikan sesi konseling dengan pengetahuan seadanya yang mereka miliki. Lebih dari itu, terkadang guru bimbingan konseling yang bukan berasal dari profesi psikologi bahkan berani memberikan tes psikologi pada siswa bimbingannya. Padahal seharusnya yang berwenang untuk memberikan tes psikologi pada klien hanyalah psikolog saja. Ini merupakan pelanggaran serius yang banyak terjadi di Indonesia.
Penggunaan alat alat tes psikologi ini akan sangat merugikan para psikolog terkait dengan profesi psikolog. Hal ini bisa terjadi karena tentu penggunaan alat tes psikologi yang tidak sesuai dengan prosedur dan tata cara yng ada akan menghasilkan hasil interpretasi tes yang salah. Hasil interpretasi yang salah akan menyebabkan klien menjadi dirugikan. Selain itu, kesalahan interpretasi juga dapat menyebabkan kepercayaan klien terhadap alat tes menjadi berkurang.
Pelanggaran pemakaian alat tes oleh orang yang tidak berwenang ini sebenarnya adalah rangkaian dari pelanggaran-pelanggaran kode etik yang lain juga. Alat tes psikologi bisa dipergunakan oleh orang yang tidak berwenang tentu karena adanya pihak yang tidak bertanggung jawab yang menyebarluaskan alat tes psikologi. Tindakan ini juga merupakan pelanggaran berat terhadap kode etik psikologi. Bisanya, pihak yang menyebarluaskan alat tes ini adalah orang psikologi sendiri, karena memang merekalah yang pada awalnya memiliki akses terhadap alat-alat tes tersebut. Seharusnya, para insan psikologi dapat benar-benar menjaga alat-alat tes psikologi dengan baik dengan tujuan agar tidak bocor dan dipergunakan dengan bebas oleh orang-orang yang tidak berkompeten di bidang itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 16b tentang Penggunaan dan Penguasaan Sarana Pengukuran Psikologik, yang berbunyi “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menjaga agar sarana pengukuran agar tidak dipergunakan oleh orang-orang yang tidak berwenang dan yang tidak berkompeten.”
Selain itu, pelanggaran yang telah disebutkan sebelumnya terkait dengan pemakaian alat tes oleh orang yang tidak berkompeten di bidangnya bisa juga disebabkan oleh pembelajaran yang terlalu dini oleh suatu institusi pendidikan psikologi. Seharusnya, kemampuan untuk mengoperasikan atau mengadministrasikan alat tes diajarkan pada taraf jenjang magister profesi psikologi, bukan pada strata S1. Hal ini justru yang membuat kemungkinan alat tes psikologi digunakan oleh orang yang sebenarnya belum boleh untuk mengadministrasikan dan membuat interpretasi terhadap alat tes psikologi.
Lulusan S1 psikologi tentunya tidak semuanya akan melanjutkan ke magister profesi. Sedangkan kompetensi yang harus dimilik oleh administrator alat tes adalah seseorang yang telah memiliki lisensi sebagai seorang psikolog. Apabila lulusan S1 telah diajarkan administrasi alat tes, maka tidak mustahil apabila dalam dunia kerjanya mereka memanfaatkan pengetahuan yang telah dimiliki terkait dengan penggunaan alat tes. Hal seperti inilah yang banyak terjadi, terutama di daerah luar Jawa. Pelanggaran yang lebih parah dari yang telah disebutkan adalah penggunaan alat tes psikologi oleh orang yang sama sekali tidak memiliki dasar dalam ilmu psikologi, baik itu S1, ataupun profesi psikolog.
Selengkapnya...

Abdurrahman Ad Dakhil
03.18 | Author: alinaksi ahmad


Pendahuluan
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur telah dipanggil Zat Yang Maha Kuasa dengan meninggalkan begitu banyak kesan bagi seluruh dunia. Begitu banyak torehan prestasi dan sepak terjang Gus Dur yang patut kita apresiasi, walaupun juga mengundang begitu banyak kontroversi. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa Gus Dur adalah guru bangsa yang mengajarkan begitu banyak arti kehidupan bagi kita semua. Dan tentunya hal ini semakin mengukuhkan bahwa Gus Dur merupakan salah satu tokoh dan pemimpin terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia.


Perjalanan Gus Dur
Presiden ke-4 RI ini dilahirkan di Denanyar Jombang pada 4 Syaban bertepatan 4 Agustus 1940 dengan nama Abdurrahman Ad dakhil (sang penakluk), akan tetapi sekarang popular dengan sebutan Abdurrahman Wahid. Secara biologis, Gus Dur merupakan titisan "darah biru" ulama besar di Indonesia. Beliau adalah putra dari KH Wahid Hasyim bin KH Hasyim Asy'ari (Pendiri NU) dan Nyai Solechah binti KH Bisri Syamsuri (seorang ulama besar sekaligus Pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang).
Berdasarkan silsilah itulah, maka secara genetik dan berkat doa sang kedua kakek dan orangtuanya, Gus Dur memiliki kelebihan kompetensi kecerdasan intelektual (keulamaan dan kecendekiawanan), kompetensi personalitas (karakter, kepribadian, ketauladanan), dan kompetensi sosial (strategi membangun jaringan komunikasi dan silaturahmi) yang luar biasa.
Berbagai kelebihan dan keistimewaan Bapak Pluralisme Indonesia itu sangat diakui dan dikagumi, baik oleh kawan maupun lawan politiknya, tak terkecuali mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad yang sangat mengagumi pemikiran brilian Gus Dus dengan mengatakan bahwa pemikiran dan kecerdasan Gus Dur melebihi standar zamannya.
Tampaknya apa yang dikemukakan Mahathir itu tidak berlebihan sebab setiap statemen dan "sabda" Gus Dur, baik melalui tulisan maupun lisan, laksana hidangan menu yang enak, segar, dan khas. Apalagi pemikiran dan statemen itu dinilai kontroversi dan nyeleneh, pasti menjadi topik utama di berbagai diskusi nasional dan media massa.

Gaya Komunikasi
Komunikasi secara harfiah etimologi berasal dari kata latin communis yang berarti "sama" atau communicare yang berarti membuat sama (to make commun). Sedangkan secara terminologis, komunikasi adalah suatu penyampaian pesan untuk memperoleh tanggapan (respons) atau saling berbagi informasi, gagasan, dan sikap.
Gus Dur merupakan tokoh cerdas- kharismatik yang bukan hanya dalam komunitas warga NU, melainkan tokoh bagi segenap lintas agama, lintas suku, dan lintas bangsa. Ketokohan pendiri PKB ini yang demikian hebat itu adalah karena di samping memiliki kecerdasan keilmuan, juga didasari kepiawaian dalam membangun dan menerapkan gaya komunikasi, baik dalam tataran agama, politik, demokratisasi, kemasyarakatan, dan kemanusiaan.
Prof. Dr. Faisal Ismail dalam buku "Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik" mengemukakan bahwa ada tiga pendekatan dan gaya komunikasi Gus Dur dalam menyampaikan pesan. Pertama, kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan secara equivocal yang berarti pesan-pesan yang disampaikan sengaja dibuat secara kabur, tidak jelas, tidak terus terang, bahkan terkadang diramu secara humor dan jenaka. Melalui gaya komunikasi ini, penerima pesan lebih banyak menduga daripada menangkap pesan secara langsung.
Dalam dunia politik, gaya seperti ini terkadang perlu dilakukan guna menciptakan keakraban berkomunikasi. Gaya model ini dalam dunia politik biasa disebut art of possibility. Gaya seperti ini memang menjadi kebiasaan Gus Dur sejak lama, sehingga sepak terjang dan strategi sang penerima gelar doctor (HC) dari berbagai negara ini sulit diprediksi oleh lawan politiknya karena gayanya ibarat janur yang sangat lentur (elastis).
Sebagai salah satu misal ketika cucu pendiri NU ini bertemu Pemimpin Besar Kuba, Fidel Castro. Dalam kunjungan kenegaraannya di Kuba, Presiden Gus Dur yang alumnus pesantren bercerita di hadapan Fidel Castro bahwa bangsa Indonesia telah mempunyai empat presiden yang semuanya "gila".
Presiden pertama (Soekarno, kata Soe diartikan "gila" dan Karno diartikan perempuan), sehingga Soekarno berarti "gila" wanita karena poligami. Presiden kedua (Soeharto, Soe diartikan "gila" dan kata Harto berarti kekayaan), sehingga Soeharto berarti "gila" harta kekayaan karena memang kekayaan Pak Harto luar biasa. Presiden ketiga (BJ Habibie), kata Habibi berasal dari bahasa Arab yang diartikan senang atau "gila", karena Presiden Habibie seorang profesor yang "gila ilmu dan teknologi (pesawat); Presiden keempat (Gus Dur sendiri) karena Gus Dur merupakan presiden yang banyak buat orang menjadi "gila".
Mendengar "lelucon politik" itu, spontan Castro pun berbahak-bahak. Tentu gaya komunikasi ini mempunyai konsekuensi. Bagi mereka yang tidak mengenal Gus Dur secara baik, pasti muncul asumsi bahwa Gus Dur merupakan tokoh sekaligus simbol ketidakkonsistenan melalui ungkapan khasnya "begitu aja kok repot".
Kedua, gaya komunikasi agresif. Ada dua sifat agresif yang sering ditampilkan dan dominan pada diri Gus Dur, yakni kesukaan berdebat dan keagresifan secara verbal. Kesukaan berdebat bagi Gus Dur merupakan tendensi untuk mengajak dialog kepada penerima pesan terhadap topik-topik kontroversial (khilafiyah), misalnya kebijakan dan polemik pencabutan TAP MPRS No. 25/1966 tentang Larangan PKI/Komunisme-Leninisme; Pengakuan negara terhadap eksistensi agama Kong Hu Cu dan gagasan kontroversial lainnya.
Ketiga, gaya komunikasi moderatif yakni gaya komunikasi yang dilakukan oleh Gus Dur dalam upaya memoderatkan dua kutub yang ekstrem. Dalam keadaan normal, Gus Dur merupakan simbol tokoh modernis yang mampu menjalankan misinya dengan sangat baik.
Dalam hal violence and anarchism terhadap kaum minoritas dengan dalil dan mengatasnamakan ajaran keagamaan tertentu, Gus Dur sangat antikekerasan, apapun alasannya. Prinsipnya "tindakan kekerasan dengan dalih ajaran agama justru mencoreng kemuliaan dan kesucian agama itu sendiri".
Dalam konteks gerakan anti kekerasan Gus Dur banyak merujuk kepada perjuangan Mahatma Gandhi, pemimpin kharismatik India dalam memperjuangkan penegakan keadilan dan antidiskriminasi. Di mata sebagian orang (khususnya warga NU), eksistensi Gus Dur bagaikan sebuah teks yang bermuatan banyak konteks.
Atau, pemikiran dan gagasan Gus Dur harus dibaca sebagai konteks di balik teks. Dari fenomena inilah, sehingga lawan-lawan politik dan kaum pengkritik Gus Dur banyak yang kesal, jengkel, marah, kecewa, dan bingung terhadap berbagai pernyatan-pernyataan Gus Dur yang kontroversial.
Gaya komunikasi yang lain dari Gus Dur adalah sikap politikbya yang “lentur”. Misalnya saja, pada Pemilu 2004 tidak ada yang mengira Gus Dur akan membangun komunikasi politik secara intensif dengan Partai Golkar dan Wiranto. Siapapun tahu, bahwa Gus Dur sempat disakiti oleh Partai Golkar terutama saat dirinya dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden. Begitu juga dengan Wiranto, di antara keduanya pernah mengalami ketidak cocokan. Sewaktu menjadi Presiden, Gus Dur dengan berani memberhentikan Wiranto dari jajaran kabinetnya. Perbedaan dengan Golkar dan Wiranto tidak lantas membuat Gus Dur bersikap kaku.
Sikap politik Gus Dur yang demikian ini menjadikan dirinya sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan oleh siapapun. Dia tidak alergi untuk bertemu banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk orang atau kekuatan politik yang pernah bersebrangan dengannya.
Keluasan dan keluwesan wawasan Gus Dur membuatnya menjadi seseorang yang bijak dan terbuka. Ia tidak pernah menyimpan dendam bagi orang yang pernah salah sekalipun. Selain itu, Gus Dur tidak pernah canggung untuk berhubungan dengan siapapun, bahkan dengan lawan politiknya sekalipun. Sikapnya terhadap tokoh-tokoh lain, semacam Amien Rais. Meskipun sering bersebrangan, Gus Dur secara pribadi tetap bisa berhubungan baik. Misalnya, terlihat saat Amien Rais bersama-sama dengan Gus Dur menonton pagelaran wayang dengan dalang Ki Kenthus di rumah Gus Dur di wilayah Ciganjur.

Perbedaan Pendekatan Gaya Komunikasi
Sebelum mengkaji pendekatan komunikasi yang biasa Gus Dur terapkan, akan lebih baik jika sebelumnya kita bandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain. Terdapat perbedaan pendekatan komunikasi yang dilakukan para pemimpin bangsa ini. Soekarno misalnya, banyak memakai pendekatan behavioristik. Pendekatan yang menekankan refleksitas kognisi ini amat berhubungan dengan penempaan pesan sehingga prilaku penerima pesan menjadi reflektor yang setia. Seluruh prilaku manusia, kecuali instink, dalam pendekatan ini diasumsikan sebagai hasil belajar. Belajar artinya perubahan prilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Pola-pola indoktrinasi ala Soekarno seperti seringnya pengulangan kata-kata “Revolusi Belum Usai”, “Kontrarevolusi”, “ganyang Malaysia” dan lainnya di berbagai forum dan kesempatan, terkadang menyisihkan rasionalitas dan otonomi individu penerima pesan terlepas dari baik-buruknya dampak indoktrinasi itu bagi masyarakat.
Di era Soeharto, pendekatan komunikasi yang digunakan bersifat transmisional dimana jalinan komunikasinya bersifat searah. Soeharto yang saat itu sangat powerfull membentuk dan mengarahkan komunikasi, sementara rakyat selalu dalam posisi sebagai receiver (penerima pesan) tanpa bisa leluasa memberikan feedback, kecuali sesuai dengan arahan dari Soeharto sendiri. Kebijakan publik yang dikeluarkannya, selalu dikomunikasikan dengan cara-cara dominatif dan eksploitatif.
Pasca Soeharto jatuh, pendekatan yang mendominasi proses komunikasi bangsa Indonesia adalah interaksional. Semua orang bebas mengekspresikan sikap dan pandangannya, sehingga jalinan komunikasinya interaktif. Kebebasan yang melahirkan euforia ini menjadi kontraproduktif karena tingkat pendidikan politik dan kesadaran berbangsa rendah. Kebebasan seringkali memunculkan kebablasan. Fenomena interaksional ini lebih mengkristal saat Gus Dur terpilih sebagai Presiden. Gus Dur selalu bergerak dengan percaya diri meski seringkali melawan mainstream publik. Di tengah situasi pendekatan interaksional, Megawati tampil menggantikan Gus Dur. Ada kecenderungan Megawati dan pemerintahannya dalam batas-batas tertentu kembali menggunakan pola transmisional. Tiba-tiba banyak kebijakan publik diputuskan tanpa proses sosialisasi yang memadai di tingkat rakyat. Keengganan berkomunikasi ala Megawati sesungguhnya dapat kita analisa dengan menggunakan teori-teori produksi pesan, terutama Communication Apprehention (CA) Theory dari James McCroskey dan Sensitivitas Retoris dari Darnel dan Brockriede. McCroskey menemukan, bahwa keengganan berkomunikasi merupakan problem praktis serius bagi banyak orang, terbentang dari yang rendah sampai keengganan berkomunikasi yang bersifat patologis (McCroscky, 1984).
Keengganan berkomunikasi bisa merupakkan sifat bisa juga keadaan. Traitlike Communication Apprehention (keengganan berkomunikasi yang menjadi sifat) merupakan tendensi yang abadi dalam berbagai setting. Individu yang menderita menghindari seluruh jenis komunikasi oral. Sementara Statelike Communiaction Apprehention hanya memiliki keengganan berkomunikasi tertentu. Misalnya keengganan berbicara dan berdebat di depan publik mengenai suatu kebijakan publik. Keengganan berkomentar atau menanggapi masalah-masalah krusial, serta keengganan berpolemik dengan lawan politiknya secara langsung. Hal inilah yang rupanya dominan kita temukan dalam diri Megawati.

epilog
Gus Dur merupakan sosok yang sangat kontroversial di Indonesia. Banyak orang yang mencerca dan memakinya dengan sebutan bahwa ia merupakan seorang pemimpin ataupun tokoh yang tidak konsisten terhadap apa yang ia katakana dan lakukan. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat lumrah dan wajar, karena memang masih banyak orang yang belum mampu menerjemahkan symbol dan gagasan yang disampaikan oleh Gus Dur, sehingga bisa jadi benar apa yang disampaikan pentolan group Dewa 19 Ahmad Dhani yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia belum siap untuk menerima pemimpin seperti Gus Dur.
Wallahu a’lam…..

Sumber :
“Komunikasi”. 3 Januari 2010.
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/komunikasi-54/
Gun, Heryanto. Membaca Gaya Komunikasi Politik Gus Dur. . 27 Maret 2008. http://gunheryanto.blogspot.com/2008/03/membaca-gaya-komunikasi-politik-gus-dur.html
Gun, Heryanto Membaca Model Komunikasi Gus Dur. Gun Heryanto. 19 Januari 2010. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/1240-membaca-model-komunikasi-gus-dur.html
Selengkapnya...


Kepemimpinan dalam Islam
Dalam bahasa Arab, kata yang sering dihubungkan dengan kepemimpinan adalah ra'in, dari hadits nabi, kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun '˜an ra'iyyatihi (setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinanmu). Ra'in sesungguhnya berarti gembala. Seorang pemimpin ibarat serang penggembala yang harus membawa ternaknya ke padang rumput dan menjaganya agar tidak diserang serigala.
Adapun ra'iyyah berarti rakyat. Jadi seorang pemimpin pasti mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan rakyat. Selain kata ra'in seringkali dipakai kata ra'is yang berhubungan dengan kata ra's artinya kepala. Ada pula yang menggunakan kata sa'is yang berarti pengendali kuda. Memang seorang pemimpin adalah seorang yang mampu mengendalikan anggotanya. Sa'is memiliki akar kata yang sama dengan siyasat, strategi. Untuk itu, dalam memimpin diperlukan strategi.
Ada pula yang mengartikan pemimpin dengan kata imam, yang berarti di depan. Kata ini memiliki akar yang sama dengan umm, yang berarti ibu. Seorang imam atau pemimpin memang harus memiliki sifat seorang ibu. Penuh kasih sayang dalam membimbing dan mengendalikan umat. Ada kaitan antara imam, umm, dan ummat. Sifat nabi kita di antaranya adalah ummi, yang berarti penuh keibuan (al-A'raf 156 dan 158).

Pemimpin Indonesia
Sejak zaman dahulu, Indonesia memiliki banyak tokoh pemimpin yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Indonesia. Mulai dari zaman awal peradaban di Indonesia yang dimulai oleh kerajaan Kutai, hingga zaman modern saat ini. Pemimpin pemimpin itu banyak sekali menginspirasi kita dalam menjalani roda kehidupan yang semakin kencang. Sejak zaman dahulu mereka berjuang untuk mewujudkan suatu wilayah yang nyaman dan aman untuk ditempati, Indonesia.
Para tokoh perjuangan Indonesia sejak dulu telah berjuang sekuat tenaga dalam mewujudkan cita-citanya, menjadikan Indonesia sebagai negara yang makmur dan sejahtera. Dimulai dari perjuangan merebut kemerdekaan hingaa perjuangan menegakkan kesejahteraan rakyatnya dalam bidang sosial, ekonomi, dan juga pendidikan. Ada banyak tokoh –tokoh besar seperti Ir. Sukarno, Muhamad Hatta, KH. Ahmad Dahlan, M. Natsir serta KH. Abdul Kahar Mudzakkir yang berjuang bersama untuk mewujudkan cita-cita mereka. Mereka semua berjuang bersama untuk mewujudkan negara Indonesia yang maju.

Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir
Semua tokoh republik ini tentu memiliki sepak terjang dan dedikasi yang tinggi dalam usaha mereka. Masing-masing memiliki cara tersendiri untuk bisa mewujudkan mimpi mereka. Salah satu tokoh yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah pejuang yang juga merupakan salah satu pendiri kampus kebanggaan kita, Universitas Islam Indonesia, beliau adalah Abdul Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir.
Beliau memiliki peran yang cukup besar dalam mengembangkan universitas tertua di Indonesia ini. Beliau bersama M. Natsir, Ir. Sukarno, M. Hatta, KH. Hasyim Asy’ari dan para tokoh nasional lainnya berjuang untuk memajukan pendidikan di Indonesia dengan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang merupakan cikal bakal dari UII.
Dalam perkembangannya, Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir yang merupakan lulusan Al Azhar Kairo Mesir ini menjadi rektor pertama Universitas Islam Indonesia (UII). Sebelum menjabat sebagai rektor UII, beliau banyak berkecimpung di pergerakan kemerdekaan Indonesia bersama tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Banyak hal mengagunkan yang bisa kita teladani dari Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir. Beliau merupakan pemimpin yang sangat kharismatik dan sederhana.
Kepandaian Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir sudah tidak usah diragukan lagi. Dalam hal keilmuan akademik, beliau merupakan intelektual muslim yang patut dibanggakan. beliau pernah menimba ilmu di Mesir hingga akhirnya beliau bergelar profesor. Dalam urusan pemerintahan, beliau pernah mendirikan partai dan menjadi anggota BPUPKI.
Selain cerdas (fathonah), Kahar Mudzakkir merupakan sosok yang dapat dipercaya dan konsisten dalam mengemban suatu amanah. Beliau sangat aktif dalam usaha untuk memajukan pendidikan Islam. Mulai dari mengusulkan Sekolah Tinggi Islam, menjadi rektor UII, serta aktif dalam lembaga keagamaan seperti Muhammadiyah. komitmen beliau sangat tinggi karena ia merasa memiliki amanah berat yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya.
Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir bukanlah seseorang yang pelit ilmu ataupun informasi kepada siapapapun. Dengan senang hati beliau menularkan ilmunya kepada siapapun yang ingin belajar kepadanya. Pada masa mudanya, beliau menjadi guru di Madrasah Mualimin Muhammadiyah dan selanjutnya beliau menjadi direktur di lembaga tersebut. Setelah menjadi rektor pun ia masih tetap mengajar di UII. Bahkan setelah beliau sudah tidak menjadi rektor, beliau tidak malu dan merasa rendah dengan hanya menjabat sebagai dekan di Fakultas Hukum UII (1960-1963). Hal ini membuktikan kerendahan hati dari seorang Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir.
Dalam kehidupannya, Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir merupakan seseorang yang benar-benar cinta akan agamanya, Islam. Beliau selalu berusaha menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Beliau sangat memegang teguh ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, bahkan beliau menerapkannya dalam sistem pendidikan di UII dengan cara menggunakan kalender Islam di UII. Selain itu, beliau juga sangat senang bersilaturahim dengan semua orang.
Keteladanan lain yang diberikan oleh Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir adalah toleransi yang tinggi dalam hidup bersama. Beliau merekrut dosen-dosen yang berkualitas untuk peningkatan mutu UII walaupun beragama nasrani. Hal ini menunjukkan bahwa Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir merupakan seorang pemimpin yang benar-benar visioner dan berpikiran luas.
Satu hal terakhir yang sangat dibutuhkan oleh pemimpin manapun, yang tentunya juga dicontohkan oleh Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir adalah kesederhanaan. Ada sebuah kisah tentang teladan kesederhanaan yang diberikan oleh Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir kepada kita semua.
Kisahnya adalah ketika K. H. Ma’sum dari Lasem, pada tahun 1960, akan berkunjung ke rumah Pak Kahar. Menurut rencana sore itu tamu akan datang, tetapi ditunggu sampai jam 22.00 malam belum juga terlihat. Pak Kahar yang sudah memasak untuk makan malam tamu, mengundang tetangga dekatnya untuk malam bersama.
Hari berikutnya, barulah K. H. Ma’sum dan dua muridnya datang. Karena Bu Kahar sedang sakit, pembantu sedang mudik, dan anak sedang tidak di rumah, Pak Kahar pun akhirnya menanak nasi sendiri untuk lima porsi, tiga untuk tamu, satu untuk Pak Kahar, dan satu untuk Pak Wardan (yang menceritakan kisah ini). Sehabis isya’ ada tiga tamu lagi karena mendengar Pak Kahar menerima K.H. Ma’sum untuk ikut ta’dhimudl dloif, memuliakan tamu. Nasi yang tadinya untuk lima orang tidak layak kalau harus dibagi untuk delapan orang.
Pak Wardan yang juga tetangga Pak Kahar menawarkan mengambil nasi di rumahnya tetapi dilarang. Akhirnya Pak Kahar menemukan solusi: nasi yang ada dibagi enam, dan Pak Kahar sendiri serta Pak Wardan makan keraknya. Jadilah makan malam bersama tamu selesai dengan aman.
Moral yang bisa didapat dari kisah ini adalah bahwa Pak Kahar yang pada waktu itu menjadi Rektor UII adalah kesederhanaannya dan keinginan untuk menghormati orang lain. Bagi Pak Kahar, berjuang di UII adalah ibadah, sebagaimana sampai saat ini diabadikan sebagai nilai dasar UII dalam Statuta. Karenanya, selepas memegang amana menjadi Rektor pada tahun 1945-1960, beliau tidak canggung menjadi Dekan FH UII, jabatan yang lebih rendah daripada Rektor pada tahun 1960-1963.
Demikianlah teladan luar biasa yang bisa diambil dari sepenggal kisah dari seorang pemimpin besar di Indonesia, Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir. Ahlaknya merupakan cerminan dari seorang pemimpin muslim sejati yang berasal dari Rasulullah SAW. Semoga kita sebagai generasi penerus bisa meneladani semua yang telah dicontohkan kepada kita.
Wallahu a’lam bis shawab…

Sumber:
Setiawati, Trias. Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir,
Mutiara Nusantara dari Yogyakarta. 2007. Yogyakarta: Badan Wakaf UII.
Muhsin, Djauhari. Dkk.
Sejarah dan Dinamika Universitas Islam Indonesia. 2003. Yogyakarta: Badan Wakaf UII.
Selengkapnya...