Abdurrahman Ad Dakhil
03.18 | Author: alinaksi ahmad


Pendahuluan
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur telah dipanggil Zat Yang Maha Kuasa dengan meninggalkan begitu banyak kesan bagi seluruh dunia. Begitu banyak torehan prestasi dan sepak terjang Gus Dur yang patut kita apresiasi, walaupun juga mengundang begitu banyak kontroversi. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa Gus Dur adalah guru bangsa yang mengajarkan begitu banyak arti kehidupan bagi kita semua. Dan tentunya hal ini semakin mengukuhkan bahwa Gus Dur merupakan salah satu tokoh dan pemimpin terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia.


Perjalanan Gus Dur
Presiden ke-4 RI ini dilahirkan di Denanyar Jombang pada 4 Syaban bertepatan 4 Agustus 1940 dengan nama Abdurrahman Ad dakhil (sang penakluk), akan tetapi sekarang popular dengan sebutan Abdurrahman Wahid. Secara biologis, Gus Dur merupakan titisan "darah biru" ulama besar di Indonesia. Beliau adalah putra dari KH Wahid Hasyim bin KH Hasyim Asy'ari (Pendiri NU) dan Nyai Solechah binti KH Bisri Syamsuri (seorang ulama besar sekaligus Pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang).
Berdasarkan silsilah itulah, maka secara genetik dan berkat doa sang kedua kakek dan orangtuanya, Gus Dur memiliki kelebihan kompetensi kecerdasan intelektual (keulamaan dan kecendekiawanan), kompetensi personalitas (karakter, kepribadian, ketauladanan), dan kompetensi sosial (strategi membangun jaringan komunikasi dan silaturahmi) yang luar biasa.
Berbagai kelebihan dan keistimewaan Bapak Pluralisme Indonesia itu sangat diakui dan dikagumi, baik oleh kawan maupun lawan politiknya, tak terkecuali mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad yang sangat mengagumi pemikiran brilian Gus Dus dengan mengatakan bahwa pemikiran dan kecerdasan Gus Dur melebihi standar zamannya.
Tampaknya apa yang dikemukakan Mahathir itu tidak berlebihan sebab setiap statemen dan "sabda" Gus Dur, baik melalui tulisan maupun lisan, laksana hidangan menu yang enak, segar, dan khas. Apalagi pemikiran dan statemen itu dinilai kontroversi dan nyeleneh, pasti menjadi topik utama di berbagai diskusi nasional dan media massa.

Gaya Komunikasi
Komunikasi secara harfiah etimologi berasal dari kata latin communis yang berarti "sama" atau communicare yang berarti membuat sama (to make commun). Sedangkan secara terminologis, komunikasi adalah suatu penyampaian pesan untuk memperoleh tanggapan (respons) atau saling berbagi informasi, gagasan, dan sikap.
Gus Dur merupakan tokoh cerdas- kharismatik yang bukan hanya dalam komunitas warga NU, melainkan tokoh bagi segenap lintas agama, lintas suku, dan lintas bangsa. Ketokohan pendiri PKB ini yang demikian hebat itu adalah karena di samping memiliki kecerdasan keilmuan, juga didasari kepiawaian dalam membangun dan menerapkan gaya komunikasi, baik dalam tataran agama, politik, demokratisasi, kemasyarakatan, dan kemanusiaan.
Prof. Dr. Faisal Ismail dalam buku "Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik" mengemukakan bahwa ada tiga pendekatan dan gaya komunikasi Gus Dur dalam menyampaikan pesan. Pertama, kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan secara equivocal yang berarti pesan-pesan yang disampaikan sengaja dibuat secara kabur, tidak jelas, tidak terus terang, bahkan terkadang diramu secara humor dan jenaka. Melalui gaya komunikasi ini, penerima pesan lebih banyak menduga daripada menangkap pesan secara langsung.
Dalam dunia politik, gaya seperti ini terkadang perlu dilakukan guna menciptakan keakraban berkomunikasi. Gaya model ini dalam dunia politik biasa disebut art of possibility. Gaya seperti ini memang menjadi kebiasaan Gus Dur sejak lama, sehingga sepak terjang dan strategi sang penerima gelar doctor (HC) dari berbagai negara ini sulit diprediksi oleh lawan politiknya karena gayanya ibarat janur yang sangat lentur (elastis).
Sebagai salah satu misal ketika cucu pendiri NU ini bertemu Pemimpin Besar Kuba, Fidel Castro. Dalam kunjungan kenegaraannya di Kuba, Presiden Gus Dur yang alumnus pesantren bercerita di hadapan Fidel Castro bahwa bangsa Indonesia telah mempunyai empat presiden yang semuanya "gila".
Presiden pertama (Soekarno, kata Soe diartikan "gila" dan Karno diartikan perempuan), sehingga Soekarno berarti "gila" wanita karena poligami. Presiden kedua (Soeharto, Soe diartikan "gila" dan kata Harto berarti kekayaan), sehingga Soeharto berarti "gila" harta kekayaan karena memang kekayaan Pak Harto luar biasa. Presiden ketiga (BJ Habibie), kata Habibi berasal dari bahasa Arab yang diartikan senang atau "gila", karena Presiden Habibie seorang profesor yang "gila ilmu dan teknologi (pesawat); Presiden keempat (Gus Dur sendiri) karena Gus Dur merupakan presiden yang banyak buat orang menjadi "gila".
Mendengar "lelucon politik" itu, spontan Castro pun berbahak-bahak. Tentu gaya komunikasi ini mempunyai konsekuensi. Bagi mereka yang tidak mengenal Gus Dur secara baik, pasti muncul asumsi bahwa Gus Dur merupakan tokoh sekaligus simbol ketidakkonsistenan melalui ungkapan khasnya "begitu aja kok repot".
Kedua, gaya komunikasi agresif. Ada dua sifat agresif yang sering ditampilkan dan dominan pada diri Gus Dur, yakni kesukaan berdebat dan keagresifan secara verbal. Kesukaan berdebat bagi Gus Dur merupakan tendensi untuk mengajak dialog kepada penerima pesan terhadap topik-topik kontroversial (khilafiyah), misalnya kebijakan dan polemik pencabutan TAP MPRS No. 25/1966 tentang Larangan PKI/Komunisme-Leninisme; Pengakuan negara terhadap eksistensi agama Kong Hu Cu dan gagasan kontroversial lainnya.
Ketiga, gaya komunikasi moderatif yakni gaya komunikasi yang dilakukan oleh Gus Dur dalam upaya memoderatkan dua kutub yang ekstrem. Dalam keadaan normal, Gus Dur merupakan simbol tokoh modernis yang mampu menjalankan misinya dengan sangat baik.
Dalam hal violence and anarchism terhadap kaum minoritas dengan dalil dan mengatasnamakan ajaran keagamaan tertentu, Gus Dur sangat antikekerasan, apapun alasannya. Prinsipnya "tindakan kekerasan dengan dalih ajaran agama justru mencoreng kemuliaan dan kesucian agama itu sendiri".
Dalam konteks gerakan anti kekerasan Gus Dur banyak merujuk kepada perjuangan Mahatma Gandhi, pemimpin kharismatik India dalam memperjuangkan penegakan keadilan dan antidiskriminasi. Di mata sebagian orang (khususnya warga NU), eksistensi Gus Dur bagaikan sebuah teks yang bermuatan banyak konteks.
Atau, pemikiran dan gagasan Gus Dur harus dibaca sebagai konteks di balik teks. Dari fenomena inilah, sehingga lawan-lawan politik dan kaum pengkritik Gus Dur banyak yang kesal, jengkel, marah, kecewa, dan bingung terhadap berbagai pernyatan-pernyataan Gus Dur yang kontroversial.
Gaya komunikasi yang lain dari Gus Dur adalah sikap politikbya yang “lentur”. Misalnya saja, pada Pemilu 2004 tidak ada yang mengira Gus Dur akan membangun komunikasi politik secara intensif dengan Partai Golkar dan Wiranto. Siapapun tahu, bahwa Gus Dur sempat disakiti oleh Partai Golkar terutama saat dirinya dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden. Begitu juga dengan Wiranto, di antara keduanya pernah mengalami ketidak cocokan. Sewaktu menjadi Presiden, Gus Dur dengan berani memberhentikan Wiranto dari jajaran kabinetnya. Perbedaan dengan Golkar dan Wiranto tidak lantas membuat Gus Dur bersikap kaku.
Sikap politik Gus Dur yang demikian ini menjadikan dirinya sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan oleh siapapun. Dia tidak alergi untuk bertemu banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk orang atau kekuatan politik yang pernah bersebrangan dengannya.
Keluasan dan keluwesan wawasan Gus Dur membuatnya menjadi seseorang yang bijak dan terbuka. Ia tidak pernah menyimpan dendam bagi orang yang pernah salah sekalipun. Selain itu, Gus Dur tidak pernah canggung untuk berhubungan dengan siapapun, bahkan dengan lawan politiknya sekalipun. Sikapnya terhadap tokoh-tokoh lain, semacam Amien Rais. Meskipun sering bersebrangan, Gus Dur secara pribadi tetap bisa berhubungan baik. Misalnya, terlihat saat Amien Rais bersama-sama dengan Gus Dur menonton pagelaran wayang dengan dalang Ki Kenthus di rumah Gus Dur di wilayah Ciganjur.

Perbedaan Pendekatan Gaya Komunikasi
Sebelum mengkaji pendekatan komunikasi yang biasa Gus Dur terapkan, akan lebih baik jika sebelumnya kita bandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain. Terdapat perbedaan pendekatan komunikasi yang dilakukan para pemimpin bangsa ini. Soekarno misalnya, banyak memakai pendekatan behavioristik. Pendekatan yang menekankan refleksitas kognisi ini amat berhubungan dengan penempaan pesan sehingga prilaku penerima pesan menjadi reflektor yang setia. Seluruh prilaku manusia, kecuali instink, dalam pendekatan ini diasumsikan sebagai hasil belajar. Belajar artinya perubahan prilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Pola-pola indoktrinasi ala Soekarno seperti seringnya pengulangan kata-kata “Revolusi Belum Usai”, “Kontrarevolusi”, “ganyang Malaysia” dan lainnya di berbagai forum dan kesempatan, terkadang menyisihkan rasionalitas dan otonomi individu penerima pesan terlepas dari baik-buruknya dampak indoktrinasi itu bagi masyarakat.
Di era Soeharto, pendekatan komunikasi yang digunakan bersifat transmisional dimana jalinan komunikasinya bersifat searah. Soeharto yang saat itu sangat powerfull membentuk dan mengarahkan komunikasi, sementara rakyat selalu dalam posisi sebagai receiver (penerima pesan) tanpa bisa leluasa memberikan feedback, kecuali sesuai dengan arahan dari Soeharto sendiri. Kebijakan publik yang dikeluarkannya, selalu dikomunikasikan dengan cara-cara dominatif dan eksploitatif.
Pasca Soeharto jatuh, pendekatan yang mendominasi proses komunikasi bangsa Indonesia adalah interaksional. Semua orang bebas mengekspresikan sikap dan pandangannya, sehingga jalinan komunikasinya interaktif. Kebebasan yang melahirkan euforia ini menjadi kontraproduktif karena tingkat pendidikan politik dan kesadaran berbangsa rendah. Kebebasan seringkali memunculkan kebablasan. Fenomena interaksional ini lebih mengkristal saat Gus Dur terpilih sebagai Presiden. Gus Dur selalu bergerak dengan percaya diri meski seringkali melawan mainstream publik. Di tengah situasi pendekatan interaksional, Megawati tampil menggantikan Gus Dur. Ada kecenderungan Megawati dan pemerintahannya dalam batas-batas tertentu kembali menggunakan pola transmisional. Tiba-tiba banyak kebijakan publik diputuskan tanpa proses sosialisasi yang memadai di tingkat rakyat. Keengganan berkomunikasi ala Megawati sesungguhnya dapat kita analisa dengan menggunakan teori-teori produksi pesan, terutama Communication Apprehention (CA) Theory dari James McCroskey dan Sensitivitas Retoris dari Darnel dan Brockriede. McCroskey menemukan, bahwa keengganan berkomunikasi merupakan problem praktis serius bagi banyak orang, terbentang dari yang rendah sampai keengganan berkomunikasi yang bersifat patologis (McCroscky, 1984).
Keengganan berkomunikasi bisa merupakkan sifat bisa juga keadaan. Traitlike Communication Apprehention (keengganan berkomunikasi yang menjadi sifat) merupakan tendensi yang abadi dalam berbagai setting. Individu yang menderita menghindari seluruh jenis komunikasi oral. Sementara Statelike Communiaction Apprehention hanya memiliki keengganan berkomunikasi tertentu. Misalnya keengganan berbicara dan berdebat di depan publik mengenai suatu kebijakan publik. Keengganan berkomentar atau menanggapi masalah-masalah krusial, serta keengganan berpolemik dengan lawan politiknya secara langsung. Hal inilah yang rupanya dominan kita temukan dalam diri Megawati.

epilog
Gus Dur merupakan sosok yang sangat kontroversial di Indonesia. Banyak orang yang mencerca dan memakinya dengan sebutan bahwa ia merupakan seorang pemimpin ataupun tokoh yang tidak konsisten terhadap apa yang ia katakana dan lakukan. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat lumrah dan wajar, karena memang masih banyak orang yang belum mampu menerjemahkan symbol dan gagasan yang disampaikan oleh Gus Dur, sehingga bisa jadi benar apa yang disampaikan pentolan group Dewa 19 Ahmad Dhani yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia belum siap untuk menerima pemimpin seperti Gus Dur.
Wallahu a’lam…..

Sumber :
“Komunikasi”. 3 Januari 2010.
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/komunikasi-54/
Gun, Heryanto. Membaca Gaya Komunikasi Politik Gus Dur. . 27 Maret 2008. http://gunheryanto.blogspot.com/2008/03/membaca-gaya-komunikasi-politik-gus-dur.html
Gun, Heryanto Membaca Model Komunikasi Gus Dur. Gun Heryanto. 19 Januari 2010. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/1240-membaca-model-komunikasi-gus-dur.html

This entry was posted on 03.18 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: