Bencana Alam dan Anak-Anak
09.35 | Author: alinaksi ahmad



Pada beberapa tahun terakhir ini sering sekali terjadi bencana alam yang melanda di berbagai negara. Bencana itu telah menyebabkan begitu banyak korban jiwa, fisik ,serta harta benda. Bagi korban yang selamat, maka ia akan sangat merasa terbebani dengan adanya cacat fisik yang ia derita, kerugian material, dan juga keadaan psikologis mereka. Hal ini tentu akan terasa sangat berat apabila tidak ada penanganan yang serius dari pihak-pihak yang terkait.
Penyintas tentunya akan merasa sangat terpukul dengan keadaan yang mereka alami, dan yang paling mengkhawatirkan adalah yang berasal dari kalangan anak-anak. Anak-anak masih sangat rentan kondisi psikologisnya, parahnya presentase jumlah koban yang berasal dari anak-anak di seluruh dunia lumayan besar , baik dalam angka kematian ataupun dampak lainnya. (Norris et al., 2002 a, b). Misalkan dalam bencana tsunami, 37 persen dari jumlah korban meninggal adalah berasal dari anak-anak (lebih dari 90.000), anak-anak yang masih hidup kehilangan saudara dan teman-temannya dan 7.722 anak ditinggal kedua orang tua mereka (World Bank, 2005).
Semua bencana yang terjadi tentunya akan menyebabkan trauma yang mendalam bagi para korbannya. Baik orang dewasa, maupun anak-anak. Pada awalnya, gejala trauma dari bencana pada anak dianggap sama dengan yang dialami oleh orang dewasa, (Anthony et al., 1999), hingga ditemukan satu hasil penelitian baru yang dilakukan oleh Terr (1979) yang mengemukakan pandangan bahwa anak akan merespon trauma dengan cara yang berbeda dengan orang dewasa.
Para psikolog kemudian mulai kritis meneliti efek trauma terhadap anak-anak. Pynoos (1999) menyoroti model interaksi trauma dan stres dengan
tingkat perkembangan dan psikopatologi anak yang berbeda-beda. Tinjauan
Norris (2002) dan Vogel dan Vernberg (1993) menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak dalam menanggapi bencana berbeda-beda, tergantung pada banyak variabel, dan anak menunjukkan gejala trauma yang lebih parah daripada orang dewasa. Hal ini karena skema kognitif mereka yang masih terbatas (Leach, 2004).
Peran psikolog sangat diharapkan untuk bisa membantu penyintas kembali bangkit dan beraktifitas normal. Penyintas yang paling diprioritaskan adalah anak-anak. Psikolog yang ingin membantu dalam memulihkan kesehatan mental harus menyadari kompetensi dan keterbatasan yang mereka miliki. Psikolog harus memahami itervensi yang tepat bagi parapenyintas. Intervensi harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan para penyintas pada fase yang berbeda berdasarkan kondisi dan tingkat keparahan yang berbeda pula.
Kegiatan pencegahan dan mitigasi juga sangat penting untuk mengurangi masalah kesehatan mental yang disebabkan bencana. Menurut ARC (2005), penting untuk dicatat bahwa sebagian besar korban tidak menunjukkan reaksi trauma berat . Bahkan, Teicher (2002) menunjukkan bahwa manusia telah mampu mengatasi stres yang menimpa dirinya. Penyintas yang lebih membutuhkan intervensi adalah anak-anak, karena itu akan menjadi modal dasarnya di masa mendatang. Anak-anak yang sejak kecil sudah diajari mengatasi trauma, maka ia akan menjadi lebih kuat dan adaptif, bukan hanya sekarang tetapi juga kelak ketika ia dewasa.
Dari pemamparan yang telah disebutkan, maka ada banyak hal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran. Sudah selayaknya kita harus banyak belajar dari negara-negara luar yang telah mampu menerapkan satu system yang tertata untuk menanggulangi dampak bencana. Mereka sudah diajarkan tentang cara penanggulangan bencana dengan sigap, sehingga ketika ada bencana bantuan bisa segera datang dan penyintas pun bisa lebih cepat ditangani. Hal ini tentu akan sangat berguna bagi penanggulangan dampak yang lebih berat yang ditimbulkan oleh bencana seperti stress, depresi, atau PTSD.
Anak –anak juga selalu menjadi prioritas utama bagi para psikolog dalam menangani masalah yang disebabkan oleh bencana alam. Banyak cara yang sudah dikembangkan untuk menanggulangi semua itu. Diantaranya adalah dengan mengembangkan program yang komprehensif yang mengaitkan antara aspek kognitif, behavioral, dan juga emosional untuk menanggulangi dampak bencana yang muncul pada anak-anak.

This entry was posted on 09.35 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

2 comments:

On 23 Juli 2011 pukul 00.33 , arifinkaka mengatakan...

maaf, saya membaca artikel ini, dan butuh daftar pustakany? penulisan artkel ini dari sumber mana saja? bisa tolong cantumkn? karna saya butuh, terimakasih

 
On 12 Oktober 2011 pukul 23.42 , alinaksi ahmad mengatakan...

oh iya, maap2..
klupaan mencantumkan, kalo ini resensi jurnal dari Linda Evans and Judy Oehler-Stinnett, judulnya Children and Natural Disasters.. dapet di sage pub..