hafalan sholat delisa
07.47 | Author: alinaksi ahmad


Judul Buku : Hafalan Shalat Delisa
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Kota Terbit : Jakarta
Cetakan : Cetakan IX
Tahun Terbit : 2008
Tebal Buku : 270 lembar


Adalah Delisa seorang bungsu dari empat bersaudara, Fatimah, Aisyah dan Zahra yang menjadi tokoh utama cerita ini. Ayah mereka Abi Usman adalah seorang pelaut yang berbulan-bulan berlayar, ia hanya pulang tiga bulan sekali. Ia bekerja di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing - perusahaan di Arun yang berkeliling dari satu benua ke benua lainnya membawa ribuan meter kubik minyak mentah. Sementara ibu mereka, ummi Salamah bekerja menjahit, membordir, dan apalah pesanan tetangga. Mereka tinggal di komplek perumahan sederhana. Dekat sekali dengan bibir pantai. Lhok Nga memang tepat di tepi pantai. Pantai yang indah. Rumah mereka paling berjarak 400 m dari bibir pantai. Komplek itu seperti perumahan di seluruh kota Lhok Nga, religius dan bersahabat.
Sudah menjadi kebiasaan di keluarga sederhana tersebut bahwa setiap pagi, mereka melakukan shalat berjama’ah bersama. Ibu selalu menjadi imam shalat ketika ayah mereka tidak berada di rumah. Dan Delisa, seperti halnya anak kecil pada umumnya, selalu bersikap manja dan bermalas-malasan ketika kakak-kakaknya membangunkannya untuk shalat subuh berjama’ah.
Kegiatan rutin mereka selepas shalat subuh berjama’ah adalah mengaji. Ummi, begitu mereka sering memanggil ibunya mengajari Cut Aisyah dan Cut Zahra, sedangkan Fatimah mengaji sendiri, tidak lagi diajari ummi. Ini adalah jadwal rutin mereka setiap habis subuh, meskipun juga belajar mengaji di TPA dengan ustadz Rahman di meunasah (musholla).
Delisa masih Jus ‘amma. Ia masih terbata-bata mengeja alif-patah-a. ia memang masih pemula, Ia baru belajar mengaji enam bulan terakhir, sejak mulai masuk kelas satu sekolah ibtidaiyyah dekat rumah. Delisa sedang belajar menghafal bacaan sholat dan Aisyah-lah yang bertugas setiap sholat untuk membaca lebih keras di belakang agar Delisa bisa meniru, agar Delisa belajar lebih cepat. Tapi Delisa sering mengeluh karena bacaan Aisyah terlalu pelan. Ia meminta ummi mereka untuk mengubah keputusan agar Fatimah atau Zahra saja yang mengajarinya menghafal, Aisyah juga merajuk karena ia malas mengajari Delisa, namun ummi mereka tidak setuju. Aisyah dan Delisa memang selalu bertengkar, yang sebenarnya mereka saling menyayangi.
Fatimah, kakak tertua Delisa yang sudah menginjak bangku kelas 1 SMA, selalu bisa bersikap bijaksana terhadap Delisa. Meski umurnya masih 16 th, ia adalah tipikal anak sulung yang bisa diandalkan. Tapi kakaknya yang lain, Aisyah yang tengah duduk di bangku SMP kelas 1 selalu saja bersikap usil dan jahil, ia suka sekali mengganggu Delisa. Sementara Zahra, saudara kembar Aisyah yang juga duduk di kelas yang sama lebih sering diam, tidak banyak bicara. Delisa sendiri, si bungsu memiliki wajah yang sangat menggemaskan. Rambutnya ikal berwarna. Kulitnya putih kemerah-merahan bersih. Matanya hijau. Ia lebih terlihat seperti anak keturunan. Meskipun itu memang tidak aneh, umminya memang Turki-Spanyol (meskipun itu jauh ke kakek-kakeknya Delisa).
Delisa juga punya hobi yang berbeda dengan anak-anak gadis kecil di komplek perumahan mereka. Setiap sore, ia lebih suka bermain bola bersama teman laki-lakinya dibandingkan dengan kakak-kakak dan teman-teman ceweknya. Satu lagi bedanya dengan anak-anak lainnya, Delisa anak yang pandai bertanya. Meskipun terhitung bandel, Delisa memiliki pola pikir yang beda dengan anak-anak seumuran. Ia suka mengamati dan meniru-niru orang dewasa. Mengingat detail dengan baik. Dan pandai sekali menghubung-hubungkan sesuatu baik berbagai kejadian atau hanya kalimat-kalimat orang yang didengarnya.
Dimana-mana, Delisa menenteng-nenteng buku hafalan bacaan sholatnya, ia memang sedang berjuang keras menghafal bacaan sholat. Meski terkadang buku itu hanya sekedar dibawa-bawa saja. Tidak dibaca. Dan ia semakin bersemangat ketika umminya menjanjikannya sebuah kalung sebagai hadiah hafalan bacaan sholat, sementara Abinya menjanjikannya sepeda baru.
Suatu hari, umminya mengajaknya ke pasar membeli kalung. Dan demi persahabatan Koh Acan (pemilik toko) dengan abi Delisa, Koh Acan memberinya separuh harga. Sesampainya di rumah, Delisa buru-buru memamerkan kalung kebanggaannya kepada kakak-kakaknya. Tak disangka, kalung itu ternyata membuat Aisyah cemburu. Sebenarnya kalung itu sama seperti miliki Fatimah, Zahra dan Aisyah, yang berbeda hanya huruf D yang menggantung di kalung Delisa yang baru. Dan perbedaan itulah yang membuat Aisyah semakin cemburu. Namun setelah dibujuk oleh Ummi, Aisyah yang berhari-hari dirundung marah kembali baik.
Dan ternyata kalung itu sakti sekali. Delisa semakin giat menghafal karena ingin segera memiliki kalung itu. Berkali-kali ia minta ijin umminya untuk melihatnya, tapi umminya tidak mengijinkannya. Dan demi membantu adiknya yang tengah kesusahan menghafal, Aisyah membuatkan jembatan keledai untuk Delisa. Jembatan Keledai adalah petunjuk cara menghafal shalat yang baik. Seperti agar bagaimana bacaan rukuk tidak tertukar dengan bacaan sujud. Bagaimana agar bacaan diantara dua sujud tidak kebolak-balik. Semuanya ada jembatan keledai-nya. Cara menghafal dengan menganalogkan hafalan dengan urutan huruf atau benda-benda menarik lainnya. Dan dengan bantuan jembatan keledai yang dibuat Aisyah, Delisa menghafal bacaan shalatnya lebih cepat dan lebih lancar.
Sabtu pagi, 25 Desember 2004. Sehari sebelum tanggal yang akan diingat banyak orang. Rutinitas harian berjalan seperti biasa. Seminggu terakhir, Delisa sudah bisa bangun tepat waktu, ia juga sudah mahir mengendarai sepeda tiur sahabatnya. Hari-hari berjalan seperti biasa. Bermain bola di pantai bersama geng Teuku Umam (temannya di TPA), mengaji dengan ustadz Rahman di meunasah, dan bertengkar dengan kakaknya, Aisyah.
Subuh itu, Delisa mengatakan satu hal yang sangat mengharukan. Selepas shalat, Delisa memeluk tubuh umminya, berkata pelan “Delisa cinta ummi karena Allah….” Mendengar kata-kata Delisa yang pelan dan menggentarkan, Ummi dan kakak-kakaknya menangis saling berpelukan. Pagi itu, sabtu 25 Desember 2004. Sehari sebelum badai tsunami menghancurkan pesisir Lhok Nga, sebilah cahaya menyemburat dari rumah sederhana itu, menghujam langsung ke langit.
Sorenya, Delisa melaporkan kesuksesannya pagi itu, ternyata yang memiliki ide itu adalah ustadz Rahman. Ia menagih janji ustadznya yang akan memberinya hadiah kepada siapa saja yang bisa melakukannya, dan benar, Delisalah yang mendapat satu batang coklat besar dari ustadz tersayangnya.
26 Desember 2004, hari luluh lantahnya Aceh Darussalam, Delisa bangun dengan semangat. Hari ini adalah hari ujian hafalannya. Ibu guru Nur, guru Delisa di kelas satu sengaja memindahkan praktek shalat anak-anak di hari Ahad. Biar anak-anak bisa sedikit rileks dan keluarga juga bisa ikut mengantar. Cut Zahra dan Cut Aisyah buru-buru memasang karton-karton ucapan berwarna biru, dengan pita biru, warna kesukaan Delisa di depan rumah begitu Delisa dan ummi pergi. Kertas berisi ucapan selamat karena Delisa lulus ujian menghafal.
Nmaun ketika tiba giliran Delisa maju ke depan, ketika bibir mungilnya mulai mengucap “Allahu-Akbar!”, tanah bergetar dahsyat, menjalar merambat menggentarkan seluruh dunia. Persis ketika Delisa usai ber-takbiratul-ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Banda Aceh gempa. Nias lebur seketika dan Lhok Nga hancur tak tersisa. Aceh dan sekitarnya diterjang badai besar tsunami, mengirimkan pertanda kelam, kematian.
Setelah tujuh hari pencarian. Delisa ditemukan, masih hidup, terseret empat kilometer hingga ke kaki bukit Lhok Nga. Tersangkut di semak-semak. Tubuhnya remuk, darah membeku menggumpal, tubuh itu mengkerut kedinginan, biru lebam penuh guratan luka. Siku kanannya patah bagai patahan dahan kayu yang masih menempel sedikit di pohonnya. Helikopter Super Puma membawanya ke kapal induk John F. Kennedy, Delisa selamat meski untuk beberapa lama ia pingsan. Ia dioperasi, betis kaki kanannya yang sudah membusuk bernanah diamputasi. Siku kanannya digips. Luka-luka di kepalanya dijahit dah muka lebamnya dibalsem tebal-tebal.
Mendapat kabar mengerikan tersebut, Abi Usman segera pulang ke Indonesia, setelah pontang-panting kesana kemari mencari informasi, dan setelah mengalami keputusasaan yang teramat dalam, Abi Usman pun bertemu dengan satu-satunya keluarga yang tersisa. Ia bersyukur bahwa Delisa selamat. Ketika ia menemuinya, Delisa sedang bermain dengan teman barunya, suster Shofy yang dengan tulus merawatnya. Abi diijinkan menemani Delisa di rumah sakit selama tiga minggu. Tinggal di salah satu kabin tamu. Menemani gadis bungsunya sepanjang hari, membaca buku, bercerita, menebus waktu-waktu kesendirian Delisa. Suster Shofi juga berbaik hati membawakan buku-buku bacaan. Termasuk bacaan shalat yang segera disambar oleh Delisa. Ya..Delisa ingin menghafal lagi, memorinya hilang ketika badai tsunami merampas keluarga dan ingatan akan bacaan shalatnya. Merampas kalung yang belum juga dimilikinya. Kalung yang setelah kejadian mengerikan itu tak lagi diingatnya.
Enam minggu setelah gelombang Tsunami menghantam Lhok Nga, tiga minggu setelah Delisa dirawat di rumah sakit kapal induk, Delisa pulang ke Lhok Nga. Dan untuk beberapa lamanya mereka tinggal di tenda pengungsian. Mereka tak mungkin tinggal di rumah sederhana mereka, Lhok Nga rata dengan tanah, tak satu bangunan pun tersisa. Tak ada kegiatan apa-apa kecuali membangun kembali reruntuhan rumah mereka. Abi dan Delisa masih jauh beruntung karena Abi masih memiliki sedikit tabungan, ia juga mendapat pesangon dari tempat ia bekerja. Abi memutuskan untuk berhenti bekerja. Ia tidak mungkin meninggalkan putri bungsu kesayangannya sendiri.
Abi mengerjakan banyak hal di Lhok Nga, tidak jauh dari pekerjaannya dulu, ia banyak membantu sukarelawan mengurusi gardu listrik, alat pemancar, mesin-mesin umum dsb. Sementara Delisa, setelah memasuki bulan ketiga, sekolah daruratnya akhirnya dimulai. Di tenda-tenda. Ia mulai belajar apa saja, tidak ada kesulitan berarti karena ia memang anak yang cerdas. Yang sulit dan memberatkan bagi Delisa adalah hafalan bacaan shalatnya. Namun ia bersyukur, Kak Ubai, seorang relawan PMI dari Jakarta memulai pengajian di meunasah darurat.
Delisa tumbuh lebih dewasa dua bulan terakhir. Delisa jauh lebih bertanggungjawab. Delisa selalu mengerjakan sendiri apa yang bisa dia kerjakan. Tetapi tetap saja semua itu tidak sesederhana bagi Abi, apalagi dengan kejadian yang serba mendadak. Abi harus belajar semuanya dari awal. Belajar dengan pemandangan masa silam yang berserakan menyakitkan.
Bagi Delisa, masalah yang paling serius selama tiga bulan terakhir adalah menghafal bacaan shalat, ia bahkan dengan tulusnya menerima semua kehilangan yang menimpa dirinya. Namun bacaan shalat ini sungguh mengganggu pikirannya. Delisa sebenarnya sekarang tak pernah absen ikut shalat maghrib, isya’ dan subuh bersama abi. Bangun pagi bukan masalah besar. Tetapi shalat Delisa tidak pernah sempurna. Tidak pernah lengkap. Bacaannya kebolak-balik, bahkan lupa sama sekali.
Dan tahajjud di malam itu, Delisa kembali membuat rumahnya menyemburat cahaya. Ia mengatakan cinta kepada Abinya yang tengah tergugu mengingat keluarganya. Ungkapan yang sama seperti yang ia ungkapkan kepada umminya, namun kali ini tulus, tidak lagi untuk sebatang coklat.
Paginya di hari Ahad, sebagaimana minggu-minggu sebelumnya, Delisa rajin sekali mengunjungi makam Fatimah, Aisyah dan Zahra. Makam yang tak bernisan dan lebih mirip lapangan sepak bola. Ia tidak tahu dimana letak kuburan Fatimah, Zahra dan Aisyah. Jadi ia menganggap tempat ia dulu menggurat nama merekalah sebagai lokasi kuburan kakak-kakaknya. Setiap Ahad pagi ia akan datang, bercerita tentang apa saja kepada mereka dan membawakan tiga tangkai mawar biru yang pernah ditanam ummi di depan rumah. Dan pagi itu, Delisa tidak sendiri. Di sudut yang berbeda ada Teuku Umam, teman sekelasnya yang juga tengah mengunjungi kelima kakaknya yang meninggal karena badai tsunami. Perlahan Delisa mendekat dan berusaha menghiburnya, memberikan separuh coklat pemberian suster Shofi sebelum kepulangannya ke Virginia. Kesamaan perasaan itu mengakrabkan mereka. Mereka tak ingat lagi pertengkaran yang mereka lakukan, di sekolah, di meunasah dan di lapangan bola.
Di tengah percakapan mereka, ayah Umam datang membawa kabar bahwa ummi Umam telah ditemukan. Kabar yang justru mencabik-cabik Delisa. Membawanya pada sebuah penolakan akan kenyataan. Selama ini ia sangat merindukan umminya. Mengapa umminya Umam ditemukan dan Umminya tidak? Mengapa anak nakal seperti Umam justru mendapatkan Umminya kembali sementara ia yang sudah berusaha berbuat baik tidak? Ya..kecemburuan itu bagai api yang membakar semak kering. Cepat sekali menyala. Dan itulah yang terjadi sesaat setelah ayah Umam dengan wajah berbinar mengajak Umam bersegera pulang dari pemakaman masal tersebut menemui umminya. Delisa berlari, menangis mempertanyakan keadilan Tuhan.
Pulang dari pemakaman masal, Delisa jatuh sakit. Awalnya hanya meriang, tapi menjelang sore badan Delisa mulai panas tak terkendali. Dan mengingat keadaannya yang semakin parah, Ayahnya dengan ditemani dokter Peter dan kak Ubai membawanya ke rumah sakit. Kawan-kawannya banyak yang datang menjenguk, dan ini cukup membantu pemulihan kesehatan Delisa. Di rumah sakit, Delisa bertanya kepada kak Ubai, pertanyaan yang dulu belum sempat ia tanyakan kepada ustadz Rahman, pertanyaan yang tidak diketahui orang-orang. Pertanyaan mengapa ia susah sekali menghafal. Dan jawabannya ia temukan dalam mimpi bertemu dengan umminya. Ia bermimpi umminya menggenggam sebuah kalung yang berliontin huruf D. Delisa paham, selama ini ia susah menghafal karena ia melakukannya karena imbalan. Dalam hati ia membenarkan kak Ubai yang mengatakan bahwa Allah menutup pintu kebaikan orang-orang yang mengharapkan hadiah dan tidak ikhlas. Delisa paham, kesulitannya ini pasti disebabkan oleh hadiah yang dinanti-nantikannya.
Sekembalinya dari rumah sakit, Delisa kembali menghafal. Bukan karena kalung atau sepeda. Delisa benar-benar ingin menghafal karena ia ingin sholat dengan sempurna. Dan ketika pada hari sabtu, kak Ubai mengajak anak-anak mengaji di luar, di lapangan di lereng bukit Lhok Nga, Delisa sudah hafal bacaannya. Mereka shalat berjama’ah asyar di sana. Shalat yang sempurna karena Delisa sudah benar-benar hafal bacaannya. Delisa memulai shalatnya, “Allahu-Akbar!”, lautan bergolak lembut. Angin bertiup mempesona. Gunung-gunung bergetar lemah. Ujung pohon meliuk menunduk. Dedaunan menyebut salam. Begitu indah. Tiba-tiba ia terisak pelan. Menyadari bahwa ia baru saja mengerjakan shalatnya dengan lengkap. Disana tidak ada ibu guru Nur yang akan memberikan piagam kelulusannya, ustadz Rahman yang akan memberikan sebatang coklat, tidak ada Abi, kak Fatimah, kak Zahra, kak Aisyah, dan tidak ada ummi. Ya..ummi! Ia rindu ummi, Delisa ingin bertemu ummi.
Menjelang kepulangan mereka ke rumah, tiba-tiba Delisa ingin mencuci tangan, ia turuni anak sungai kecil di lereng bukit itu, tak disangka ia melihat kemilau kuning terjuntai di sebuah semak belukar, ia mendekat, dan benar, Delisa segera mengenali benda itu, itu adalah sebuah kalung dengan huruf D. Namun bukan karena kalung itu dia terkesiap, tapi karena kalung itu tidak tersangkut di dedaunan, tetapi di tangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka, sempurna kerangka manusia. Putih. Tulang belulang. Utuh. Bersandarkan semak belukar. Dia tahu itu umminya, Delisa jatuh terjerembab ke dalam sejuknya air sungai. Ia buncah oleh sejuta perasaannya. Delisa menemui umminya...


This entry was posted on 07.47 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: