Corak Kekhalifahan dalam Islam (1)
18.27 | Author: alinaksi ahmad

Pendahuluan
Setiap periode dan zaman memiliki sejarah dan peradaban yang berbeda. Dalam setiap masanya, pasti akan muncul ide-ide besar dan produk pemikiran yang berbeda-beda. Demikian halnya dengan tokoh-tokoh yang ditinggalkannya, pasti akan ada tokoh dengan gaya dan karakteristik yang berbeda juga. Islam yang diklaim sebagai agama yang paling sempurna, baik dari kalangan intern maupun kalangan ekstern, bahkan orientalis sekalipun mempunyai kisah sendiri menyangkut sejarah dan ketatanegaraan Islam. Bermula sejak Nabi Saw., kepemimpinan al-Khulafa al-Rasyidun, hingga dinasti-dinasti lain setelahnya. Berikut ini disampaikan corak kekhalifahan, kebijakan, serta gaya kepemimpinan masing-masing pemimpin dalam sejarah kekhalifahan Islam.Periode Al-Khulafa Al-Rasyidun (632 – 661 M)

A. Sistem Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Abu Bakar terpilih sebagai khalifah (pengganti Nabi) bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah, maka mulailah ia menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan. Adapun sistem politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral”, jadi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan khalifah, meskipun demikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah.
Kebijaksanaan politik yang diilakukan Abu Bakar dalam mengemban kekhalifahannya yaitu: (1) mengirim pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika ia masih hidup, (2) memberantas kemunafikan dan kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa setelah Nabi wafat, maka segala perjanjian dengan Nabi menjadi terputus. Adapun orang murtad pada waktu itu ada dua yaitu: (a) mereka yang mengaku nabi dan pengikutnya, termasuk di dalamnya orang yang meninggalkan sholat, zakat dan kembali melakukan kebiasaan jahiliyah, (b) mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan mengeluarkannya. Dalam menghadapi kemunafikan dan kemurtadan ini, Abu Bakar tetap pada prinsipnya yaitu memerangi mereka sampai tuntas, (3) mengembangkan wilayah Islam keluar Arab, terutama ditujukan ke Syiria dan Persia.
Adapun kebijakan di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah: (1) pemerintahan berdasarkan musyawarah. Apabila terjadi suatu perkara, Abu Bakar selalu mencari hukumnya dalam kitab Allah. Jika tidak memperolehnya maka ia mempelajari bagaimana Rasul bertindak dalam suatu perkara. Apabila tidak ditemukan apa yang dicari, ia pun mengumpulkan tokoh-tokoh yang terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah. Apapun yang diputuskan mereka setelah pembahasan, diskusi, dan penelitian, maka Abu Bakar menjadikannya sebagai suatu keputusan dan suatu peraturan. (2) Abu Bakar merintis embrio baitul mal dalam arti yang lebih luas. Baitul mal bukan hanya berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa karung atau kantung untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai beliau wafat pada tahun 13 H/634 M. (3) Pemerintahannya demokratis dan berdaulat . Hal ini terlihat dari konsep pemerintahan politik dalam pemerintahan Abu Bakar yang telah ia jelaskan sendiri kepada rakyat banyak dalam sebuah pidatonya (4) Abu Bakar tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang-undang. Mereka di hadapan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum Muslim maupun non Muslim.

B. Sistem Politik Islam Masa Umar bin Khattab
Sebelum Abu Bakar wafat, ia telah menunjuk Umar bin Khattab sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Usman, dan Talhah bin Ubaidillah. Masa pemerintahan Umar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13 H/634 M sampai tahun 23H/644 M. Umar wafat pada usia 64 tahun. Selama masa pemerintahan dimanfaatkan oleh Umar untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperluas kekuasaan ke seluruh semenanjung Arab.
Dalam masa pemerintahannya, Umar telah membentuk lembaga-lembaga yang disebut juga dengan ahlul hall wal aqdi, Secara etimologi,ahlul hall wal aqdi adalah lembaga penengah dan pemberi fatwa. Sedangkan menurut terminologi, adalah wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota majelis syura, yang terdiri dari alim ulama dan para cendekiawan yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas mereka. Dinamakan ahlul hall wal aqdi untuk menekankan wewenang mereka guna menghapuskan dan membatalkan. Anggota dewan ini terpilih karena dua hal yaitu: (1) mereka yang telah mengabdi dalam dunia politik, militer, dan misi Islam, selama 8 sampai dengan 10 tahun (2) orang-orang yang terkemuka dalam hal keluasan wawasan dan dalamnya pengetahuan tentang yurisprudensi dan al Qur’an.
Lembaga-lembaga yang disebut dengan ahlul hall wal aqdi di antaranya adalah: (1) Majelis Syura (Dewan Penasehat), ada tiga bentuk: (a) Dewan Penasehat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal, antara lain Ali, Usman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah dan Zubair (b) Dewan Penasehat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum (c) Dewan antara Penasehat Tinggi dan Umum. Beranggotakan para sahabat (Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah khusus. (2) Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam. (3) Nidzamul Maly (Departemen Keuangan) mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fai’ dan lain-lain. (4) Nidzamul Idary (Departemen Administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, di antaranya adalah diwanul jund yang bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan. (5) Departemen Kepolisian dan Penjaga yang bertugas memelihara keamanan dalam negara. (6) Departemen Pendidikan dan lain-lain.
Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin pemerintahan pusat tetap dipegang oleh Khalifah Umar bin Khattab, sedangkan di propinsi, ditunjuk gubernur (orang Islam) sebagai pembantu khalifah untuk menjalankan roda pemerintahan.
Umar meninggal pada tahun 644 M karena ditikam oleh Fairuz (Abu Lukluk), budak Mughirah bin Abu Sufyan dari perang Nahrrawain yang sebelumnya adalah bangsawan Persia. Mughirah dipecat oleh Umar karena ia melakukan pembocoran rahasia Negara dan pengkhianatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alasan pembunuhan politik pertama kali dalam sejarah Islam adalah adanya rasa syu’ubiyah (fanatisme) yang berlebihan pada bangsa Persia dalam dirinya. Sebelum meninggal, Umar mengangkat Dewan Presidium untuk memilih khalifah pengganti dari salah satu anggotanya. Mereka adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Auf. Sedangkan anaknya (Abdullah bin Umar), ikut dalam dewan tersebut, tapi tidak dapat dipilih, hanya memberi pendapat saja. Akhirnya, Usman yang terpilih setelah terjadi perdebatan yang sengit antar anggotanya. Alasan pembentukan tim tersebut menurut Umar adalah karena ia tidak sebaik Abu Bakar yang dapat menunjuk seseorang sebagai penggantinya, akan tetapi Umar juga tidak bisa sebaik Rasulullah untuk membiarkan para sahabatnya memilih pengganti, maka diambil jalan tengah yakni dengan membentuk tim formatur untuk bermusyawarah menentukan pengganti Umar.

C. Sistem Politik Islam Masa Usman bin Affan
Pada masa Khalifah Usman, konsep kekhalifaan sudah mulai mundur, dalam arti interest politik disekitar khalifah mulai banyak diwarnai oleh dinamika kepentingan suku dan perbedaan interpretasi konsep kepemimpinan dalam Islam. Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa awal pemerintahannya, ia berhasil memerintah dengan baik sehingga Islam mengalami kemajuan dan kemakmuran pesat. Namun pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa umat Islam terhadapnya. Oleh karena itu, orang-orang menuduh Khalifah Usman melakukan nepotisme, dengan mengatakan bahwa beliau menguntungkan sanak saudaranya Bani Umayyah, dengan jabatan tinggi dan kekayaannya. Mereka juga menuduh pejabat-pejabat Umayyah suka menindas dan menyalahkan harta baitul maal. Di samping itu Usman juga dituduh sebagai orang yang boros mengeluarkan belanja, dan kebanyakan diberikan kepada kaum kerabatnya sehingga hampir semuanya menjadi orang kaya.
Pengangkatan pejabat di kalangan keluarga oleh Khalifah Usman telah menimbulkan protes keras di daerah dan menganggap Usman telah melakukan nepotisme. Menurut Muhammad Ali (dalam M. Abdul Karim, 2007:98), protes orang dengan tuduhan nepotisme tidaklah beralasan karena pribadi Usman itu bersih. Pengangkatan kerabat oleh Usman bukan tanpa pertimbangan. Hal ini ditunjukkan misalnya oleh jasa yang dibuat oleh Abdullah bin Sa‘ad dalam melawan pasukan Romawi di Afrika Utara dan juga keberhasilannya dalam mendirikan angkatan laut. Ini menunjukkan Abdullah bin Sa’ad adalah orang yang cerdas dan cakap, sehingga pantas menggantikan Amr bin ‘Ash yang sudah lanjut usia. Hal lain ditunjukkan ketika diketahui Walid bin Uqbah melakukan pelanggaran berupa mabuk-mabukkan, ia dihukum cambuk dan diganti oleh Sarad bin Ash. Hal tersebut tidak akan dilakukan oleh Usman, jika ia hanya menginginkan kerabatnya duduk di pemerintahan. Akhirnya, terdapat beberapa alasan yang dapat dikemukakan bahwa Usman tidak nepotisme dalam menjalankan roda pemerintahan namun lebih karena pengangkatan saudara-saudaranya itu berangkat dari profesionalisme kinerja mereka dilapangan.


D. Sistem Politik Islam Masa Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang dikenal sebagai orang yang alim, cerdas dan taat beragama. Ali juga saudara sepupu Nabi Saw. (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang jadi menantu Nabi, suami dari putri Rasulullah serta mempunyai keturunan. Dalam pemilihan khalifah terdapat perbedaan pendapat antara pemilihan Abu bakar, Usman dan Ali. Ketika kedua pemilihan khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Umar), meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah calon terpilih dan diputuskan menjadi khalifah, semua orang menerimanya dan ikut berbaiat serta menyatakan kesetiaannya. Namun lain halnya ketika pemilihannya Ali, justru sebaliknya.
Setelah terbunuhnya Usman bin Affan, masyarakat beramai-ramai datang dan membaiat Ali sebagai Khalifah. Ali diangkat melalui pemilihan dalam pertemuan terbuka. Akan tetapi suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang tinggal di Madinah, sehingga keabsahan pengangkatan Ali ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali masih menjadi khalifah dalam pemerintahan Islam. Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali terjadi karena beberapa hal yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali diangkat menjadi khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi golongan kecil (keluarga Umayah) yaitu keluarga yang selama ini telah hidup bergelimang harta selama pemerintahan Khalifah Usman. Mereka menentang Ali karena khawatir kekayaan dan kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali. Adapun rakyat terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Ali akan dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami.
Setelah Ali di-baiat menjadi khalifah, ia mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal yaitu: (1) memecat kepala daerah angkatan Usman dan menggantikan dengan gubernur baru, (2) mengambil kembali tanah yang dibagi–bagikan Usman kepada keluarga dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah.
Ketika Ali menjadi khalifah ada dua kelompok oposisi yang menentang kekhalifahan Ali, yaitu kelompok oposisi yang dipimpin oleh Abdullah Ibnu Zubair (anak angkat Siti Aisyah) dan kelompok oposisi yang dipimpin oleh gubernur Syria, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan. Kelompok oposisi pimpinan Abdullah Ibnu Zubair melahirkan perang yang popular dengan sebutan perang Jamal, karena dalam perang tersebut terlibat Siti Aisyah dengan mengendarai unta yang berdiri dipihak oposisi. Mengapa Aisyah dalam perang tersebut berada dipihak oposisi. Hal tersebut semata–mata karena kuatnya eksploitasi Abdullah Ibnu Zubair atas ambisinya untuk menjadi khalifah setelah Ali terguling. Secara kebetulan Aisyah pada saat itu sedang menaruh kecurigaan pada kelompok Ali tentang siapa yang membunuh Khalifah Usman. Kondisi yang demikian inilah dimanfaatkan oleh Abdullah bin Zubair.
Kelompok oposisi pimpinan Mu’awiyah, Gubernur Syria, melahirkan peperangan yang terkenal dengan sebutan perang Shiffin. Perang tersebut diakhiri dengan genjatan senjata, mengangkat mushaf al Qur’an. Peperangan ini terjadi tidak disebabkan oleh interest politik pribadi Mu’awiyah, tetapi juga disebabkan oleh konflik etnis yang bersifat laten zaman sebelum Islam, yaitu antara Bani Ummayyah dan Bani Hasyim. Sebenarnya Ali telah berusaha menghindari terjadinya peperangan. Akan tetapi pendukung Ali sendiri tanpa instruksi, memulai sehingga pecahlah perang yang sangat merugikan integrasi Islam itu. Kekalahan Ali dalam diplomasi perang tersebut menyebabkan dunia Islam diperintah berdasarkan sistem monarchi, yaitu suksesi kepemimpinan yang berdasarkan turun-temurun. Di samping itu, kekalahan Ali dalam perang tersebut, menyebabkan lahirnya golongan Syi’ah, dengan doktrin, bahwa hanya Ali dan keturunannya yang berhak menjadi Khalifah.
Dengan meninggalnya Ali bin Abi Thalib, kedudukannya sebagai khalifah digantikan dan dijabat oleh anaknya Hasan Ibnu Ali bin Abi Thalib selama beberapa bulan. Namun karena Hasan ternyata lemah sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun 41 H (661 M) merupakan tahun persatuan, yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah). Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa al-Khulafa ar-Rasyidun dan dimulailah kekuasaan Bani Umaiyyah dalam sejarah politik Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Maududi, Abul A’la. 1996. Khilafah dan Kerajaan Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam terj. Muhammad al Baqir. Bandung, Mizan.
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/khalifah diakses pada tanggal 19 Oktober 2010
http://hewar.7forum.biz/kewangan-islam-f7/baitul-mal-zaman-khalifah-abu-bakar-t100.htm diakses tanggal 19 Oktober 2010

This entry was posted on 18.27 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: