SEKILAS TENTANG KESEHATAN MENTAL
Tidak seorangpun yang tidak ingin menikmati ketenangan hidup, dan semua orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak semuanya dapat mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi sehingga banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan dan ketidak puasan.
Keadaan yang tidak menyenangkan itu tidak terbatas kepada golongan tertentu saja, tetapi tergantung pada cara orang menghadapi sesuatu persoalan. Misalnya ada orang miskin yang gelisah karena banyak keinginannya yang tidak tercapai, bahkan orang kaya yang juga gelisah, cemas dan merasa tidak tentram dalam hidupnya yang diakibatkan faktor lain seperti kebosanan atau ingin menambah hartanya lebih banyak lagi.Setiap orang, baik yang berpangkat tinggi atau tidak berpangkat bahkan seorang pesuruh, menemui kesukaran dalam berbagai bentuk. Hanya satu hal yang sama-sama dirasakan yaitu ketidaktenangan jiwa. Sesungguhnya ketenangan hidup, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin, tidak tergantung kepada faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan, dsb. Akan tetapi lebih tergantung dari cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut.
Jadi yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental. Kesehatan mental itulah yang menentukan tanggapan seseorang terhadap suatu persoalan, dan kemampuannya menyesuaikan diri. Kesehatan mental pulalah yang yang menentukan apakah orang akan menpunyai kegairahan untuk hidup, atau akan pasif atau tidak bersemangat.
Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis atau apatis, karena ia dapat mengahadapi semua rintangan atau kegagalan hidupnya dengan tenang. Apabila kegagalan itu dihadapi dengan tenang, akan dapatlah dianalisa, dicari sebab-sebab yang dimenimbulkannya, atau ditemukan faktor-faktor yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian akan dapat dijadikan pelajaran yaitu menghindari semua hal-hal yang membawa kegagalan pada waktu yang lain. Mempunyai kesehatan mental yang baik juga berarti mempunyai perasaan positif tentang diri sendiri, mampu menyelesaikan masalah dan tekanan hidup sehari-hari, dan bisa membentuk dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Kesehatan mental menurut Zakiah Darajat dalam buku Kesehatan Mental mengemukakan bahwa kesehatan mental merupakan pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat, dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindarnya dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa. Secara luas Zakiah Dradjat memberi batasan tentang kesahetan mental mencakup dari semua batasan yang pernah ada yaitu : terhindarnya seseorang dari gangguan dan pnyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan biasa, adanya keserasiaan fungsi-fungsi jiwa (tidak adanya konflik) dan merasa dirinya tidak berharga, berguna dan bahgia, serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptomal mungkin, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemapuan dirinya, juga memilki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakatserta lingkungan dimana ia berada.
Untuk mengetahui apakah seseorang sehat atau terganggu mentalnya, tidaklah mudah. Biasanya yang dijadikan bahan penyelidikan atau tanda-tanda dari kesehatan mental adalah tindakan, tingkah laku atau perasaan. Karenanya seseorang yang terganggu kesehatan mentalnya bila terjadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pasien-pasien yang terganggu kesehatan mentalnya, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental yang terganggu dapat mempengaruhi keseluruhan hidup seseorang. Pengaruh itu dibagi dalam empat kelompok yaitu ; perasaan, pikiran/kecerdasan, kelakuan dan kesehatan badan. Hal ini semua tergolong kepada gangguan jiwa, sedangkan sakit jiwa adalah jauh lebih berat.
Dalam sosialisasi yang dilakukan PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) dan IPK (Ikatan Psikologi Klinis) Surabaya dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia ( World Mental Health ), yang jatuh pada tanggal 10 Oktober 2007 yang lalu di sebutkan bahwa paling tidak, satu dari lima orang dalam satu populasi terganggu kesehatan mentalnya.
Mempunyai masalah kesehatan mental tak ubahnya dengan masalah kesehatan fisik. Sangat penting untuk mengenali gejala-gejala, menemukan cara untuk mengatasinya, dan melakukan langkah-langkah untuk melindungi diri dari berbagai masalah yang terkait dengan kesehatan mental. Mengabaikan masalah kesehatan mental pada diri sendiri atau orang lain, tidak akan membuat hal itu akan berlalu dengan sendirinya. Kenyataannya, perlahan atau cepat akan membuat keadaan bertambah buruk, paling tidak menurunkan kualitas hidup.
PEMBAHASAN
Hal ini mengindikasikan bahwa hati memiliki titik sentral dalam diri manusia. Segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang manusia, dapat mencerminkan hati dan pribadi orang tersebut.
Dalam konsep Islam, hati manusia dapat teridap penyakit yang tiap jenis penyakit penyakit dapat menimbulkan dampak dan bentuk perilaku yang berbeda pula. Pada makalah ini, kelompok kita akan memfokuskan pembahasan pada masalah “optimisme”. Mengingat begitu pentingnya masalah optimisme ini, kami akan melakukan pembedahan masalah optimisme sedalam yang kami mampu. Optimisme begitu vital dalam kehidupan manusia, karena tanpa adanya optimisme, manusia niscaya tidak akan pernah berkembang, tidak akan memiliki motivasi, dan manusia tidak akan pernah dapat mengaktualisasikan dirinya.
OPTIMISME
Konsep yang akan dibahas dalam makalah ini adalah konsep optimisme yang bisa dipersamakan dengan konsep Islam yang disebut dengan ar raja’. Kata ar raja’ dalam bahasa arab berarti harapan. Apabila dihubungkan dengan konsep optimisme, maka ini sangat berkaitan erat dengan apa ang akan kita bicarakan.Masalah ar raja’ membawa kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa optimisme diharuskan bagi Umat Islam, dan hal itu juga memiliki kebenaran yang objektif, mengapa demikian?” Untuk mendapatkan jawabannya, pertama kita akan mengarahkan pandangan kita pada sepercik pengertian optimis yang bisa disebut ar raja’ . Optimis merupakan perasaan tenang dalam diri seseorang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disukai olehnnya. Akan tetapi perasaan ini harus berdasarkan suatu alasan yang dapat diraih melalui penyebabnya. Jika tidak ada penyebab (jalan) untuk meraihnya, maka disebut angan-angan, karena sesungguhnya manusia itu apabila menunggu sesuatu tanpa penyebab, bukan disebut sebagai orang yang optimistis, melainkan orang yang berangan-angan alias melamun. (Al Munajjid, 2006)
Adapun sesuatu yang mempunyai penyebab, sedang orang yang bersangkutan menunggu hasil yang sisukainya berkat karyanya, maka hal seperti inlah yang disebut optimism/harapan. Sikap raja’ banyak diibaratkan oleh ulama salaf dengan petani yang rajin. Ia membajak tanahnya, menyemai bibit, menanamnya, memupuknya, mengairinya, memeliharanya, menjaganya dari hama, serta mencabuti rumput dan gulma. Setelah itu, ia berharap Allah menghasilkan rezeki dari usaha pertaniannya tersebut. Inilah orang yang bersikap raja’.
Optimisme timbul dari rasa gembira dengan kemurahan Allah dan karunia-Nya serta perasaan lega menanti kemurahan dan anugerah-Nya karena percaya akan kemurahan Tuhannya. Perassan inilah yang memacu hati manusia untuk sampai ke negeri yang dicintai, yakni surga.
Helen Keler yang merupakan seorang penulis tuna netra dan aktivis politik Amerika memberikan benih-benih pikirannya dalam membahas masalah optimisme yaitu, menurutnya optimisme adalah keyakinan yang menggiring kamu untuk meraih prestasi. Tidak ada yang bisa kamu lakukan tanpa harapan dan keyakinan. Oleh sebab itu optimisme merupakan suatu bentuk sikap yang sangat perlu tertanam pada jiwa setiap muslim, sebab dengan adanya sikap optimis dalam relung jiwa seorang manusia pasti dapat menjadikan manusia lebih giat lagi beribadah pada Allah SWT dan lebih percaya diri untuk menuju kesuksesan dan kebahagian dunia dan akhirat. Sebaliknya jika manusia tidak mempunyai sifat optimis, maka dia akan terkekang dan terpenjara dalam kerangkeng pesimstis yang memonopoli jiwa manusia, sehingga melahirkan suatu sifat keputusasaan akan rahmat Allah SWT.
Optimisme adalah lawan kata dari putus asa. Putus asa timbul karena luputnya rahmat Allah dan tiada kemauan hati untuk mencapainya. Sikap ini merupakan perbuatan durhaka. Sehubungan dengan hal ini, Allah telah berfirman : qs, Yusuf, 87. “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.”
Sehubungan dengan ayat ini al-Qurtubi ( 1214 - 1273), seorang ahli tafsir mengomentari realita tersebut dengan kalimat, ”Bahwa sesungguhnya orang mukmin itu selalu mengharapkan kelapangan dari Allah SWT, sedang orang kafir berputus asa saat dalam kesulitan. Ayat ini menunjukan bahwa putus asa dalam berharap sesuatu yang baik adalah dosa besar.” Di samping itu, putus asa dapat mengakibatkan munculnya angan-angan, khayalan, lamunan belaka dalam diri manusia. Pada akhirnya, dia akan menjadi malas atau tidak mau memperjuangkan apa yang dia inginkan, maka dia akan menjadi orang yang benar-benar pailit (bangkrut) dunia dan akhirat. Sehubungan dengan ini Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa : 123, yang artinya, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalsan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”
Berkenaan dengan masalah pesimisme, L.P. Jack menyatakan: “Orang pesimisme melihat kesulitan dari setiap peluang; sementara orang optimisme melihat peluang dari setiap kesulitan.” Lazimnya, jika kita tilik secara mendalam, bahwa faktor yang paling menonjol dari penyebab orang putus asa biasanya dikarenakan adanya masalah atau problematika dalam kehidupannya, seperti; terhimpitnya masalah ekonomi, konflik dalam rumah tangga, patah hati, tak kunjung tibanya kesuksesan atau selalu gagal dalam melakukan sesuatu, dan lain sebagainya. Realita telah membuktikan hal semacam itu bila berlarut-larut kerap memicu rasa frustasi, yang dapat melahirkan kesedihan, kegelisahan, dan kecemasan, yang tidak akan pudar. Krisis yang dialami orang-orang seperti ini merupakan sebuah jalan keuguncangan jiwa yang tidak dapat tertata. Sehingga tidak ada jalan kebenaran yang menghampirinya.
Fenomena seperti ini merupakan sebuah kasus guncangan jiwa yang secara lambat atau cepat yang akhirnya menemukan perdebatan yang tidak layak bagi dirinya. Sehingga dapat mengakibatkan orang menjadi lupa diri dan dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat fatal, implikasi itu biasanya orang sering sekali melakukan tindakan yang tidak disukai oleh Allah SWT, yaitu bunuh diri (suiside). Namun, kebanyakan orang sejenis ini disebabkan keputusasaannya yang sudah tidak terbendung lagi. Apalagi kalau setan sudak merasuk/meracuni otaknya, agar dia terjerumus ke dalam jurang kenistaan, kekufuran, dan kesesatan.
Kalau kita lihat dari kasus-kasus gangguan jiwa yang mengakibatkan orang bunuh diri. Di Cina pada tahun 1998 bahwa bunuh diri menjadi pemicu utama kematian terbesar penduduk usia 15 sampai 31 tahun. Di Negeri itu, bunuh diri menyalip kecelakaan lalu lintas sebagai pemicu kematian di usia muda, urutan ketiga di tempati kanker dan penyakit lain. Di Eropa bunuh diri menempati urutan kedua setelah kecelakaan lalu lintas disusul kanker. Berdasarkan catatan WHO (World Health Organization) sebanyak 450 juta orang di muka bumi ini mengalami gangguan mental (mental disorder), 150 juta orang mengalami depresi atau gangguan jiwa berat, 25 juta orang mengalami Skizofrenia, dan setiap tahunnya, satu juta orang bunuh diri akibat gangguan mental.
Di Indonesia orang yang mengalami gangguan mental sebesar 10 sampai 15 persen jumlah penduduk alias 22 sampai 23 juta orang, mereka ada di mana-mana dan jumlahnya lebih besar dari itu. Studi World Bank pada tahun 1995 dibeberapa Negara menunjukan bahwa gangguan jiwa menyumbang 8,1 persen terhadap hilangnya hari-hari produktif atau disability adjusted life years (DALY’s) dari kelompok global byrden of disease. Angka ini lebih tinggi daripada dampak yang disebabkan tubercolosis (7,2 persen), kanker (5,8 persen), penyakit jantung (4,4 persen), dan malaria (2,6 persen).
Ketua Federasi Psikiater ASEAN, Dr. Pandu Setiawan SpKJ Psych mengatakan, “Tak diragukan bahwa gangguan jiwa berpengaruh terhadap produktivitas dan daya kreatifitas seseorang. Mereka tak bisa konsentrasi dan banyak membuat kesalahan.” Di Indonesia pada tahun1997, kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat hilangnya waktu produktif lantaran gangguan jiwa mencapai Rp 31,9 triliun atau sepersepuluh dari jumlah APBN. Pada tahun 2000 di Inggris kerugian akibat mental disorder mencapai sembilan miliar poundsterling. Angka ini dihitung berdasarkan ongkos pengobatan, kematian (bunuh diri), serta menurunnya produktifitas.
Penyakit jiwa jelas menimbulkan kerugian tak sedikit, sayangnya ini tak pernah disadari oleh para politisi. Padahal jauh-jauh hari WHO telah mengingatkan. WHO mencatat, bahwa hingga saat ini penyebab dissabilitas nomor satu di dunia adalah gangguan jiwa unipolar deppresive, dan pada UU no 23 tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dari hal tersebut tersirat kesehatan jiwa merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Adapun indikator untuk mengenali ciri-ciri jiwa yang sehat, merasa senang terhadap diri sendiri, mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup, dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda, memiliki tujuan hidup yang realistis, merasa nyaman berhubungan dengan orang lain, dan mampu memenuhi tuntunan hidupnya. (REPUBLIKA, “Yang Terpinggirkan” sabtu 1 Juli 2006, hal. 22)
Di sisi lain orang yang putus asa atau mengalami gangguan jiwa tapi tidak melakukan tindakan bodoh (bunuh diri) biasanya dia hanya mengalami sedikit guncangan mental yang dapat mengakibatkan dia menjadi tidak berdaya dan patah semangat dalam melakukan sesuatu tindakan. Akan tetapi, dalam hal ini ada sebuah surat dalam al-Qur’an, yang dapat memberikan motivasi kepada orang bersangkutan, agar lebih semangat,dan optimis. Allah SWT berfirman,
“Bukankah Kami telah melapangakan untukmu dadamu?, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. (QS. Al Insyiroh: 1-8)
Sedangkan untuk tingkatan-tingkatan yang diperlukan guna merealisasikan sikap optimisme adalah sebagai berikut:
1. Senantiasa mengingat limpahan karunia Allah yang telah dilimpahkan kepada hamba pada waktu-waktu terdahulu.
2. Sanantiasa mengingat janji Allah berupa pahala-Nya yang berlimpah dan kmurahan sserta kedermawan-Nya yang sangat besar tanpa meminta terlebih dahulu oleh seorang hamba.
3. Hendaklah sseseorang selalu mengingat nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan berkenaan dengan urusan agama, kesehatan badan, dan urusan dunia pada masa sekarang.
4. Senantiasa mengingat luasnya rahmat Allah, dan bahwa rahmat Allah itu senantiasa mendahului murka-Nya.
Orang yang memiliki sikap optimis ialah orang yang mempunyai kelestarian dalam menjalankan ketaatan lagi menegakan semua yang dituntut oleh keimanannya. Dia berharap agar Allah tidak memalingkannya, menerima amalnya, dan tidak menolaknya, serta melipatgandakan pahala-Nya dan melimpakan imbalan. Dia berharap demikian dengan mengerjakan semua penyebab yang mampu dilakukannya seraya berharap beroleh rahmat Tuhannya. Optimis adalah obat penawar yang diperlukan bagi dua macam orang, yaitu:
1. Orang yang disukai oleh rasa putus asa, sehingga meninggalkan ibadah, dan tiba dia bertekad bahwa mengerjakan ibadah tidak membawa faedah apapun.
2. Orang yang dikecam rasa takutnya, sehingga merugikan dirinya dan juga keluarganya.ketakutan yang melanda dirinya telah melampui batas kewajaran sehingga dia memerlukan kestabilan dan harus dibantu dengan sesuatu yang yang dapat menimbulkan keseimbangan dalam dirinya, yaitu dengan menumbuhkan rasa optimism yang merupakan kondisi normal bagi seorang yang beriman.
Sebagian orang memang ada yang terobati bila diajak bicara tentang hal-hal yang dapat menumbuhkan optimisme dalam dirinya. Akan tetapi, ada orang yang diberikan terapi dengan menanamkan benih-benih optimisme dalam dirinya tidak akan member guna apa pun selamanya. Yaitu, orang-orang yang pendurhaka, terperdaya, lagi suka berangan-angan kepada Allah, sementara dia enggan menyembah-Nya. Orang semacam ini harus diberikan terapi yang lebih menakutkan, dengan cambukan peringatan yang menakutkan dan ditakut-takuti dengan kematian, karena dia adalah orang yang suka berangan-angan, meremehkan kewwajiban, dan melampui batas. Hal ini penting untuk diperhatikan para juru nasehat dan para da’I dan juga para psikolog.
Seorang ulama telah mengatakan: “seorang juru nasihat diharuskan bersikap lembut dalam berbicara kepada pasien seraya memperhatikan celah-celah kelemahan yang ada dan mengobati setiap penyakit dengan terapi yang sesuai. Namun demikian, pada masa sekarang tidak layak lagi menggunakan cara yang lunak dengan memberikan terapi pemberian optimism kepada semua orang. Seorang juru nasehat hanya baru menyebutkan hal-hal keutamaan dan berbagai kisah yang menumbuhkan sikap optimism, manakala yang menjadi tujuannya adalah memikat hati para pasien guna memperbaiki kondisinya. Dan sahabat Rasulullah saw yang terkemuka, yaitu Ali ra pernah mengatakan: “sesungguhnya orang yang ‘alim itu hanyalah orang yang tidak membuat orang lain putus asa dari rahmat Allah dan tidak pula membuat mereka merasa aman dari pembalasan Allah”.
BUAH SIKAP OPTIMISME
Optimisme sangat berguna dalam kehidupan kita, diantara manfaat yang dapat kita rasakan dengan adanya optimisme dalam hidup adalah sebagai berikut,
1. Menumbuhkan kemauan dalam diri untuk merealisasikan amalan dengan kerja keras.
2. Menumbuhkan kemauan untuk melestarikan ketaatan, sekalipun kondisinya berubah-ubah.
3. Hamba yang bersangkutan akan merasa senang dengan melestarikan diri menghadap kepada Allah, merasa nikmat dengan bermunajat kepada-Nya, dan memelas dalam meminta kepada-Nya dengan permintaan yang mendesak.
4. Sikap hamba yang bersangkutan akan terlihat sangat berhajat kepada Tuhannya dan bahwa dia merasa tidak dapat terlepas dari karunia dan kebijakan-Nya barang sekejap mata pu.
5. Sesungguhnya Allah menyukai bila para hamba meminta kepada-Nya, berharap kepada-Nya, dan mendesak kepada-Nya, karena sesungguhnya Dia adalah Maha Pemurah lagi Mahamulia. Dan orang yang tidak berharap kepadaa-Nya, Maka Dia akan murka. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa diantara buah optimism ialah terhindar dari murka Tuhan.
6. Siakp optimis tak ubahnya bagaikan pemacu seorang hamba yang memberinya semangat dalam perjalanan menuju kepada Allah.
7. Bersimpuh di hadapan pintu kecintaan Allah dan merebahkan diri di hadapan-Nya. Semakin bertambah keras optimisnya semakin sang hamba dapat meraih apa yang diharapkannya, maka semakin cinta mereka kepada Allah dan semakin merasa puas dengan-Nya.
8. Sikap optimis akan membangkitkan seorang hamba untuk menempati kedudukan bersyukur akan nikmat-Nya.
9. Sikap optimis akan memastikan seorang hamba untuk lebih mengenal asma-asma dan sifat-sifat Allah.
10. Apabila kalbu seorang hamba menggantungkan harapannya kepada Tuhannya, niscaya Allah akan memberikan kepadanya apa yang diharapkan, dan hal ini akan menambah semangat hamba untuk lebih menghadapkan diri kepada Tuhannya.
11. Sesuai dengan kadar optimism dan rasa takut seorang hamba, maka kelak akan mendapatkan kenikmatan yang mereka dambakan di akhirat, yaitu mendapatkan Ridho Allah, surge, dan dapat bertemu Allah di surga.
BERBAGAI MACAM OPTIMISME
1. Optimisme seseorang yang dibarengi dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah berdasarkan penerangan dari Allah; tiada lagi yang ditunggunya selain pahal Allah.
2. Seseorang yang berbuat banyak dosa, kemudian bertobat, maka tiada lagi yang diharapkannya selain ampunan Allah.
3. Seseorang yang berkelanjutan dalam sikapnya yang melampui batas, tenggelam dalam kemaksiatan dan keburukan, lalu dia mengharapkan rahmat Tuhan dan ampunan tanpa amalan. Optimism ini jelas merupakan sikap menipu diri sendiri, berangan-angan, dan menaruh harapan kosong, dan selamanya tidak bias disebut sikap optimisme yang terpuji.
TINGKATAN-TINGKATAN OPTIMISME
Optimisme yang menggugah seorang hamba untuk berusaha keras dalam ibadahnya, bahkan dapat menumbuhkan kenikmatan beribadah betapapun beratnya dan betapapun sulitnya ibadah tersebut dan ia rela meninggalakan semua larangan. Barang siapa mengetahui bobot sesuatu yang dicarinya, akan terasa ringanlah baginya semua pengorbanan yang dialaminya demi meraihnya; dan barang siapa yang mengharapkan keuntungan yang besar dalam perjalannanya, akan terasa ringanlah baginya penderitaan yang dialami dalam perjalannanya.
2. Tingktan kedua
Orang-orang yang berjuang melawan hawa nafsunya dengan meninggalkan kebiasaan semulanya, lalu mengganti dengan kebiasaan yang lebih baik daripada yang semula, maka optimisme mereka untuk meraih tujuan akan akan dijalinya dengan semangat yang tinggi.
3. Tingkatan ketiga
Optimisme orang-orang yang memiliki hati nurani untuk bersua dengan Allah dengan perasaan sangat merindukan-Nya; inilah optimisme yang dapat melakukan zuhudnya secara sempurna terhadap perkara duniawi. Optimisme ini termasuk jenis yang paling tinggi.
PENUTUP
Demikanlah pembahasan kelompok kami berkaitan dengan kesehatan mental berupa optimisme. Hal yang harus kita ingat adalah bahwasanya kesehatan mental seseorang tidaklah hanya mencakup satu aspek saja. Melainkan banyak aspek yang harus terpenuhi agar seseorang dapat diberi predikat manusia yang sehat secara mental. Manusia tidak ada yang diciptakan secara sempurna (tidak memiliki “cacat”). Setiap manusia pasti memiliki kelemahan dan kekurangan dalam dirinya. Kekurangan ini harusnya dapat memecut semangat dan motivasi kita agar kita dapat menjadi lebih sempurna. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah saw, bahwa barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung. Sementara orang yang hari ini sama saja dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang merugi. Dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang celaka.
Hal lain yang harus kita garis bawahi adalah bahwa sikap optimis adalah suatu senjata yang sangat ampuh dalam menghadapi masa yang akan datang. Karena tanpa adanya sikap optimis, maka individu akan menjalani setiap hari dan setiap kejadiaanya dengan penuh kebijaksanaan.
REFERENSI
Al Munajjid, Muhammad Bin Shalih, Silsilah Amalan Hati, terjemahan Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi Lc, Bandung: Irsyad Baitussalam, 2006.
Aspek Psikologis Muhasabah dan ImplikasinyaTerhadap Kesehatan Mental, Jurnal Tazkiya Vol. 2 No. 3, Desember 2002.
Majalah NIKAH, Volume 7; 5 Juli – 15 Agustus 2008
Seligman, Martin E.P. ,Menginstal Optimisme, terjemahan Budhi Yogapranata, Bandung: Momentum, 2008.
Wijaya, Ahsin, Fikih Kesehatan, Jakarta: Amzah, 2008.
http://hidayahfikri.wordpress.com/?m=artikel&page=detail&page=&no=64
http://refleksiteraphy.com/?m=artikel&page=detail&no=64
http://bawsa.blogspot.com/2008/06/ar-raja.html
0 comments: