Corak Kekhalifahan dalam Islam (2)
18.32 | Author: alinaksi ahmad

2. Periode Dinasti Umayah (661 – 750 M)
Periode negara Madinah berakhir dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib. Wafatnya Ali dianggap berakhirnya satu era yakni era al-Khulafa al-Rasyidun. Sejalan dengan itu, berakhir pula suatu tradisi pengisian jabatan kepala negara melalui musyawarah. Tokoh yang naik ke panggung politik selanjutnya adalah Muawiyah ibn Sofyan. kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai gubernur Syam pada zaman Khalifah Usman cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekuasaan dari genggaman keluarga Ali bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan Dinasti Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir. Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, meskipun pemimpin dinasti ini menyatakan sebagai khalifah akan tetapi dalam praktiknya memimpin umat Islam sama sekali berbeda dengan khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan daulah Islam berubah sifatnya menjadi daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak menaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan bin Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai.Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem politik, diantaranya adalah: (a) politik dalam negeri, yakni pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Kedua, pembentukan lembaga baru. Dalam menjalankan pemerintahannya Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi:64 (a) Katib al Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat. (b) Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara. (c) Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan. (d) Katib asy Syurthah yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum. (e) Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.
Pada masa Bani Umayyah banyak kemajuan yang telah dicapai. Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Usman dan Ali dilanjutkan oleh dinasti ini, sehingga kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbekistan dan Kirgistan di Asia Tengah. Di samping melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga berjasa dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, memperbaharui sistem perpajakan, mencetak mata uang mendirikan masjid qubbah al-shaqra(Dome of The Rock). Ilmu naqli, yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an berkembang dengan pesat, karena orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Apabila menemui kesulitan dalam melakukan penafsiran, mereka mencarinya dalam al-hadist.

3. Periode Dinasti Abbasiah (750 – 1258 M)
Bani Abbasiah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad, Irak. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani Umayyah dari semua kecuali Andalusia. Bani Abbasiah dibentuk oleh keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, Abbas. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad.
Fondasi bangunan dinasti dibangun melalui kekerasan, dalam mempertahankan kekuasaan juga terpaksa dilakukan dengan cara kekerasan dan intrik-intrik politik. Bentuk dan sistem pemerintahan, struktur organisasi pemerintahan dan administrasi pemerintahan Dinasti Abbasiah pada dasarnya sama dengan Dinasti Umayah, hanya terdapat beberapa penambahan saja. Bentuk negara tetap monarki dan gelar kepala negara tetap khalifah, hanya saja ada penambahan gelar khalifah sebagai zhulullahi fil ardhi (Bayangan Allah di bumi). Pernyataan ini mengandung arti bahwa khalifah memperoleh kekuasaan dan kedaulatan dari Allah, maka kekuasaan itu bersifat absolut. Sebab kekuasaan itu dianggap sebagai penjelmaan kekuasaan Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Interpretasi ini nampaknya dipengaruhi oleh kebudayaan Persia, karena kota Baghdad, pusat pemerintahan Dinasti Abbasiah berada di lingkungan Persia. Mereka juga menggunakan gelar imam sebagai pemimpin umat Islam di bidang spiritual. Gelar imam ini telah lazim digunakan oleh kelompok Syi’ah dan penggunaan kata imam ini bukan hanya di bidang agama saja, juga dalam lapangan politik.
Struktur organisasi Dinasti Abbasiah terdiri dari al-khilafat, al-wizarat, al-kitabat, al hijabat. Lembaga khilafat dijabat oleh seorang khalifah dan suksesi khalifah berjalan secara turun temurun di lingkungan keluarga Dinasti Abbasiah. Lembaga al wizarat (kementrian) dipimpin oleh seorang wazir, seperti menteri pada zaman sekarang. Lembaga dan jabatan ini baru dalam sejarah pemerintahan Islam yang diciptakan oleh Abu Ja’far al-Mansur. Wazir membawahi kepala-kepala departemen. Wazir adalah pembantu dan penasehat utama khalifah, mewakilinya dalam pelaksanaan pemerintahan, mengangkat para pejabat negara atas persetujuan khalifah. Wazir juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan eksekutif dan pemimpin angkatan bersenjata.
Dalam hal pengangkatan putra mahkota, Abbassiah meniru sistem yang digunakan oleh Umayyah, yakni menetapkan dua orang putra mahkota sebagai pengganti pendahulunya yang berakibat fatal karena dapat menimbulkan pertikaian antar putra mahkota.
Al-Mu'tashim, Khalifah berikutnya (833-842M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.
Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol Dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah: (1) dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam, sedangkan Dinasti Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini. (2) Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah. (3) Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional. Di samping jabatan wazir tersebut, masih terdapat dua jabatan penting, yakni hajib, perantara antara rakyat dan khalifah. Saat seseorang atau utusan dari mancanegara sebelum menghadap khalifah ia harus mencatat atau memperkenalkan diri kepada sang hajib yang membawanya kepada khalifah. Selain itu ada juga jallad yakni pelaksana hukuman, termasuk hukuman mati (algojo) yang selalu siap dibelakang khalifah, jabatan ini diadopsi dari Persia.

4. Periode Dinasti Usmaniyah
Bangsa Turki terbagi dalam berbagai suku, salah satu yang terkenal adalah suku Ughuj. Suku ini terbagi dalam 24 sub-suku. Dalam salah satu sub-suku tersebut lahirlah Sultan pertama dari Dinasti Turki Usmani yang bernama Usman. Pada saat Bangsa Mongol (sebelum Islam) dan orang Kristen, ingin menghapuskan Islam dari peta bumi, orang Turki Usmani muncul sebagai pelindung Islam hingga ke tengah-tengah daratan Eropa.
Pada awalnya Turki Usmani hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, namun dengan dukungan militer, Turki Usmani menjadi kerajaan yang besar dan bertahan dalam kurun yang lama. Setelah Usman meninggal pada 1326 M, putranya, Orkhan (Urkhan) naik tahta pada usia 42 tahun. Pada periode ini Islam pertama kali masuk Eropa. Orkhan berhasil mereformasi dan membentuk tiga pasukan utama tentara yakni: tentara sipahi (tentara reguler) yang mendapat gaji pada tiap bulannya. Tentara hazeb (tentara irreguler) yang digaji pada saat mendapatkan harta rampasan perang (mal al-ghanimah) dan tentara jenisari yang direkrut pada saat berumur 12 tahun, kebanyakan adalah anak-anak Kristen yang dibimbing Islam dengan disiplin yang kuat. Selanjutnya tentara ini terbagi dalam sepuluh, seratus dan seribu tiap kelompoknya. Mereka diasingkan dari keluarga, dan membawa kejayaan Usmani.
Kepemimpinan selanjutnya diperintah oleh al Fatih. Dalam masa kepemimpinan al Fatih diterapkanlah sebuah undang-undang yang disahkan dalam qanun namah, yakni yang menetapkan bahwa membunuh saudara kandung, termasuk keponakan, paman, dan keluarga dekat yang dianggap bersaing dalam perebutan kekuasaan adalah halal. Dengan alasan bahwa lebih baik negara itu utuh daripada kehilangan wilayah. Fatwa ini disahkan oleh Sheikh al-Islam. Sekalipun pada masa sebelumnya yakni pada masa Murad I telah ada, namun belum disahkan dalam perundang-undangan. Baru setelah abad ke-16 M, aturan ini dilonggarkan, yakni bahwa mereka tidak dibunuh namun semenjak lahir diasingkan dan dimasukkan penjara.
Setelah al Fatih meninggal, ia digantikan oleh putranya Bayazid II, kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Salim I yang terkenal sangat kejam. Sebelum menjadi Sultan, ia melawan ayahnya dan banyak melakukan pembunuhan terhadap saudaranya yang bersaing merebutkan tahta. Ia juga menaklukkan Asia Kecil, Persia, dan Mesir. Ia juga berhasil menaklukkan Sultan Mamluk (1517 M). di samping itu ia juga berhasil memindahkan khalifah boneka Bani Abbas yang bernama Ahmad ke Konstantinopel dan secara paksa mengambil gelar sakral dan selanjutnya digunakan oleh Sultan Turki, Salim I. Dengan pemindahan jabatan sakral dari Kairo ke Konstantinopel ini, maka sejak saat itu Konstantinopel berubah nama menjadi Istambul dan ibu kota juga di pindah ke kota ini.
Sejak saat itulah, dalam sejarah Islam terdapat dua jabatan penting yang dikuasai oleh seorang penguasa, yakni sebagai sultan untuk kekuasaan dan sebagai khalifah bagi seluruh dunia Islam dan Turki Usmani mengalami kemunduran pada masa kepemimpinan setelah Sulaiman.


DAFTAR PUSTAKA
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Maududi, Abul A’la. 1996. Khilafah dan Kerajaan Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam terj. Muhammad al Baqir. Bandung, Mizan.
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/khalifah diakses pada tanggal 19 Oktober 2010
http://hewar.7forum.biz/kewangan-islam-f7/baitul-mal-zaman-khalifah-abu-bakar-t100.htm diakses tanggal 19 Oktober 2010

This entry was posted on 18.32 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: