انتقادات الإجماع
05.26 | Author: alinaksi ahmad


Pengertian Ijma’


Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammad, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum) . Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada unsur di bawah ini.
1. Ada sejumlah mujtahid ketika terjadi suatu kejadian.
2. Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaaan atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid haramain, Iraq, hijaz, keluarga nabi, atau mujtahid ahli sunah, maka kesepakatan masing-masing Negara, kelompok, atau golongan tersebut tidak syah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua mujtahid dunia Islam pada masa terjadinya peristiwa itu

3. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum, tidak dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
4. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.


Kritik Ijma’

• Memandang rukun-rukun dan syarat di atas, sekelompok ulama’ dan sebagian syi’ah berkata: ijma’ dengan unsur2 di atas menurut adat tidak mungkin untuk diadakan, karena sulit untuk memenuhi semua unsur-unsurnya. Hal itu karena tidak ada ukuran pasti, seseorang sudah mencapai tingkat ijtihad atau belum. Juga tidak ada Patokan hukum seseorang termasuk mujtahid atau bukan .
• Apabila mungkin masing-masing mujtahid di dunia Islam pada saat terjadinya suatu peristiwa itu diketahui, maka mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dalam peristiwa itu dengan cara yang meyakinkan atau mendekati yakin adalah sulit. Karena mereka tersebar di berbagai benua, di negara yang saling berjauhan, berbeda kebangsaan dan ras, maka tidak mudah mengumpulkan mereka dan mengambil pendapat mereka secara kolektif dan tidak mudah mengambil pendapat masing-masing dari mereka dengan metode yang valid.
• Apabila mungkin masing-masing mujtahid diketahui, dan mungkin pula mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dengan metode valid, apa yang menjadi jaminan bahwa mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya tentang peristiwa itu akan tetap pada pendirianya sampai pendapat yang lain disampaikan semua? Apa yang menjadi halangan baginya untuk ragu-ragu sehingga dia menarik pendapatnya sebelum pendapat yang lain disampaikan? padahal syarat keabsahan ijma’ adalah keputusan sepakat dari mujtahid seluruhnya dalam satu waktu, satu hukum terhadap satu peritiwa.
• Diantara alasan yang memperkuat bahwa ijma’ tidak mungkin diadakan adalah bila ijma’ itu diadakan maka harus disandarkan kepada dalil, karena seorang mujtahid harus menyandarkan ijtihadnya kepada dalil. Jika dalil yang dipakai sandaran itu pasti, menurut kebiasaan pasti diketahui, karena bagi umat Islam tidak sulit mengetahui dalil syara’ yang pasti sehingga mereka butuh untuk merujuk para mujtahid dan kesepakatan mereka. Dan jika dalil itu dugaan, menurut kebiasaan, tidak mungkin akan terwujud suatu kesepakatan, karena dalil dugaaan pasti akan menimbulkan banyak pertentangan.
• و نقل ابن حزم فى كتابه 0(الأحكام) عن عبد الله بن احمد بن حنبل قوله : سمعت أبى يقول : (( و ما يدعى فيه الرجل الإجماع هو الكذب ، من ادعى الإجماع فهو كذاب . لعل الناس قد اختلفوا – ما يدريه – و لم ينته اليه . فليقول : لا نعلم الناس اختلفوا ))
Ibn Hazm dalam kitabnya al-Ahkam meriwayat kan pendapat Abdullah bin Ahmad bin Hambal, saya mendengar ayah berkata : “ Apa yang diakui seseorang sebagai ijma’ adalah bohong dan siapa yang menga kui adanya ijma’ dia adalah pembohong, yang dia tahu barangkali orang2 telah berbeda pendapat, sedangkan perbedaan pendapat itu belum berakhir, maka sebaiknya katakanlah: Kami tidak tahu bahwa orang-orang tekah berselisih pendapat”. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa ijma’, dengan dfinisi dan unsur-unsur seperti yang telah dijelaskan di atas, menurut kebiasaan tidak mungkin diadakan bila diserahkan kepada masing-masing umat Islam dan kelompoknya.
Prof. Muhammad Abu Zahrah dalam karyanya “ushul fiqh” menjelaskan bahwa Ijma’ yang dapat diajukan sebagai argumentasi adalah ijma’ para sahabat karena pada waktu itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan belum terpencar di berbagai Negara, sehingga memungkinkan adanya ijma’.
Meskipun dalam beberapa kesempatan, Imam Syafi’i mengatakan bahwa ia tidak menolak ijma’ namun ia juga melontarkan kritikan kritikan terhadap ijma’ :
1. Para fuqoha’ berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2. Terjadinya perbedaan pendapat di antara fuqoha’ yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Negara-negara Islam.
3. Tidak adanya kesepakatan para ulama’ tentang orang-orang yang diterima ijma’nya.
4. Tidak adanya kesepakatan para ulama’ tentang criteria ulama’ yang berhak untuk berpendapat dalam masalah-masalah fikih.

Menurut Syafi’i, masalah-masalah yang belum terselesaikan, dimana terdapat perbedaan pendapat haruslah diacukan kembali kepada qiyas, menurutnya, proses qiyas ijma’ haruslah terus berjalan, namun qiyas lebih didahulukan dari pada ijma’ .
Menurut para pengikut madzhab dzahiri dan Ahmad bin Hambal. Ijma’ adalah consensus para shabat saja. Malik hanya mengabsahkan praktek orang-orang medinah dan orang-orang Syi’ah hanya mengajui kesepakatan para anggota keluar ga Rasulullah. Perbedaan pendapat mengenai sifat ijma’ ini sendiri menunjukkan bahwa ijma’ tidaklah “total” sebagaimana ditunjukkan oleh definisi ijma’ klasik. Ignaz Goldziher (orientalis) menyatakan bahwa ruanglingkup ijma’ adalah luas dan tak dapat didefinisikan dan dibatasi secara ketat. Para ahli hukum telah banyak memberikan definisi mengenai ijma’, akan tetapi ijma’ total, khususnya dalam isu-isu dogmatis, sangat sulit dicapai, tanpa menimbulkan perbedaan pendapat, karena mengenai persoalan tertentu, apa yang dijadikan pegangan oleh satu kelompok tidaklah dijadikan pegangan oleh satu kelompok tidaklah dijadikan pegangan oleh kelompok lain.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
Rifa’i, Drs. Moh.. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif. 1973.
Syafi’i, Prof. Dr. Rachmat. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. 2007.
Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad sebelum Tertutup. Bandung: Penerbit Pustaka. 1984.
Zahrah , Prof. Muhammad Abu, Ushul Fiqih, Terj: Saefullah Ma’sum. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2007.

|
This entry was posted on 05.26 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: