Transformasional Leadership
04.05 | Author: alinaksi ahmad


Kepemimpinan merupakan sebuah sebuah topik yang sangat menarik untuk dikaji dan diteliti, hal ini disebabkan kepemimpinan merupakan hal yang banyak diamati sekaligus fenomena yang sedikit dipahami oleh orang-orang. Satu contoh adalah kepemimpinan di negara Indonesia yang begitu ramai dikaji dan diteliti oleh banyak orang. Hal ini membuktikan bagaimana kepemimpinan berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan manusia, tak terkecuali bidang politik dan bernegara. Dalam dunia bisnis, kepemimpinan berpengaruh sangat kuat terhadap jalannya organisasi dan kelangsungan hidupnya. Bahkan di semua lini kehidupan masyarakat, kepemimpinan memiliki arti dan peranan yang sangat penting.
Pada era globalisasi dan pasar bebas hanya perusahaan yang mampu melakukan perbaikan terus-menerus (continuous improvement) dalam pembentukan keunggulan kompetitif yang mampu untuk berkembang. Organisasi sekarang harus dilandasi oleh keluwesan, team kerja yang baik, kepercayaan, dan penyebaran informasi yang memadai. Sebaliknya, organisasi yang merasa puas dengan dirinya akan tenggelam dan selanjutnya tinggal menunggu saat-saat kematiannya. Kepemimpinan sebagai salah satu penentu arah dan tujuan organisasi harus mampu mennyikapi perkembangan zaman ini. Pemimpin yang tidak dapat mengantisipasi dunia yang sedang berubah ini, atau setidaknya tidak memberikan respon, besar kemungkinan akan memasukkan organisasinya dalam situasi stagnasi dan akhirnya mengalami keruntuhan.
Pengertian dan Definisi Kepemimpinan
Banyak pakar yang membicarakan tentang pengertian dari kepemimpinan, salah satunya adalah Locke (1997) yang melukiskan kepemimpinan sebagai suatu proses membujuk (inducing) orang-orang lain menuju sasaran bersama. Definisi tersebut mencakup tiga elemen berikut:
1. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept). Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada pemimpin. Tersirat dalam definisi ini adalah premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berkorelasi dengan para pengikut mereka.
2. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. Seperti telah diobservasi oleh John Gardner (1986-1988) kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak menandai seseorang untuk menjadi pemimpin.
3. Kepemimpinan harus membujuk orang-orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukum, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan visi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pengertian pemimpin yang efektif dalam hubungannya dengan bawahan adalah pemimpin yang mampu meyakinkan mereka bahwa kepentingan pribadi dari bawahan adalah visi pemimpin, serta mampu meyakinkan bahwa mereka mempunyai andil dalam mengimplementasikannya.

Kepemimpinan Transformasional


Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kepemimpinan, mulai dari Teori Situasi, Teori Sarana-Tujuan, Teori 3 Dimensi dan tentunya teori transformasional. Teori ini merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. Gagasan awal mengenai model kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Eisenbach, 1999 seperti dikutip oleh Tjiptono dan Syakhroza, 1999).
Dalam upaya pengenalan lebih dalam tentang konsep kepemimpinan transformasional ini, Bass mengemukakan adanya kepemimpinan transaksional yaitu kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan jenis ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchange process) di mana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.
Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru (Locke, 1997).
Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo). Kepemimpinan ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran "tingkat tinggi" yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya pada saat itu (Bass, 1985; Burns, 1978; Tichy dan Devanna, 1986, seperti dikutip oleh Locke, 1997).
Bass (1990) dalam Hartanto (1991) beranggapan bahwa unjuk kerja kepemimpinan yang lebih baik terjadi bila para pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi dari empat cara ini, yaitu (1) memberi wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan pada para bawahannya (Idealized Influence-Charisma), (2) menumbuhkan ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana (Inspirational Motivation), (3) meningkatkan intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara seksama (Intellectual Stimulation), dan (4) memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi (Individualized Consideration). Pemimpin yang seperti ini akan dianggap oleh rekan-rekan atau bawahan mereka sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan.
Tjiptono dan Syakhroza (1999) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara mempraktikkan perilaku yang sesuai pada setiap tahapan proses transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategik dan motivasional. Visi tersebut menyatakan dengan tegas tujuan organisasi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen.
Suatu contoh kepemimpinan transformational yang baik adalah ketika Bossidy, yang dulunya adalah seorang CEO Alliedsignal, suatu raksasa penyalur industri, permobilan dan produk kimia, membangun dan memimpin suatu organisasi kompetitif mampu meraih kesuksesan dalam jangka panjang ( Tichy Dan Charam, 1996). Pengalamannya mengungkapkan bahwa peranan baru dari seorang pemimpin bukanlah untuk memastikan kendali pada semua bawahannya, tetapi lebih untuk melatih bawahannya kepada proses perubahan. Tindakan yang pertama yang ia lakukan adalah untuk mempersatukan bawahan dan karyawannya dengan visi yang menjadi tujuan utama dari organisasi. Akan tetapi, pemimpin transformasional terkadang juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya adalah karakter pribadinya. Mereka dikemudikan oleh ambisi dan egoisme tinggi ( Champy dan Nohria, 1996). Argumentasi ini juga mengungkapkan fakta bahwa tidak ada teori kepemimpinan tunggal yang dapat menjelaskan kenyataan dari tiap pemimpin sukses.

Extra effort

Kepemimpinan yang menggunakan pendekatan transaksional sangat efektif diterapkan pada berbagai perusahaan, terutama perusahaan yang di dalamnya terdapat banyak pekerja yang berpendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Heater dan Bass (1998) yang mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional lebih menarik bagi karyawan yang berpendidikan tinggi karena karyawan yang berpendidikan tinggi mendambakan tantangan kerja yang dapat menambah profesionalis dan pengembangan diri. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Keller (1992) bahwa mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam menghadapi tantangan kerja dan bawahan yang mempunyai pendidikan tinggi dapat mendukung memberi respon terhadap kepemimpinan transformasional. Respon positif tersebut dapat mempengaruhi tingkat motivasi bawahan sehingga bawahan juga akan meningkatkan upayanya atau melakukan extra effort untuk mendapatkan hasil kerja lebih tinggi dari yang diharapkan. Sedangkan bass (1985) mengatakan, kepemimpinan transformasional lebih memungkinkan muncul dalam organisasi yang memiliki kehangatandan kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi, diharapkan dengan pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.
Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan simulasi permainan manajemen yang dilakukan oleh Avolio, Bruce, Waldam, David, Einstein dan Walter (1998) bahwa kepemimpinan transaksional aktif dan transformasional berkorelasi dengan efektifitas organisasi dalam tingkat lebih tinggi sehingga menyebabkan kinerja tim lebih tinggi. Bukti penelitian tersebut sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Bass (1985), pada intinya konsep kepemimpinan transaksional menggambarkan pimpinan yang mengenali kebutuhan bawahannya untuk tingkat kinerja yang diharapkan dari bawahannya. Selanjutnya dikatakan. Bahwa konsep kepemimpinan transformasional menggambarkan pemimpin yang tidak meningkatkan kesadaran bawahan untuk memperluas dan meningkatkan kebutuhan dan mendorong bawahan mentransendensikan minat pribadi ketujuan lebih luas. Perluasan nilai-nilai kerja ini dianggap akan meningkatkan kinerja dan upaya bawahan.
Kelebihan dan Kelemahan kepemimpinan Transformasional

Teori kepemimpinan transformasional sangat efektif dalam mengembangkan kinerja karyawan ataupun anggota dalam suatu organisasi. Kepemimpinan transformasional sering juga diidentikkan dengan kepemimpinan karismatik yang mana selalu memperhatikan hubungan yang baik antara atasan dan bawahan dalam sebuah organisasi ataupun perusahaan. Teori kepemimpinan ini selalu mengutamakan visi untuk mengembangkan kemampuan bawahan ataupun anggota suatu organisasi (Latemore, 1998). Model kepemimpinan ini juga sangat berbeda dengan model kepemimpinan transaksional yang hanya memonitor orang pekerja apabila mereka melakukan kesalahan ataupun ketidakberesan dalam hal tertentu (Nahavandi, 2003 dan Sarros, 1999).
Dalam Jurnal mengenai persepsi mengenai gaya kepemimpinan transformasional dan gaya kepemimpinan transaksional dan pengaruhnya terhadap upaya ekstra (extra effort) pegawai dinas kesehatan kota (dkk) semarang, salatiga dan kabupaten semarang di Ungaran, Burns (1978) menyatakan bahwa pada kepemimpinan transaksional, hubungan antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar antar keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional adalah contingent reward dan management by-exception. Pada contingent reward dapat berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas telah dilaksanakan, berupa bonus atau bertambahnya penghasilan atau fasilitas. Hal ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan maupun pujian untuk bawahan terhadap upaya-upayanya. Selain itu, pemimpin betransaksi dengan bawahan, dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan bawahan, menunda keputusan atau menghindari hal-hal yang kemungkinan mempengaruhi terjadinya kesalahan. Berbedan dengan pemimpin transformasional yang efektif, ia akan berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai dengan menaikkan harapan akan kebutuhan dan kinerjanya. Misalnya, bawahan di dorong mengambil tanggungjawab lebih besar dan memiliki otonomi dalam bekerja. Kedua, pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga menjadi pemimpin.
Meskipun demikian, kepemimpinan transformasional juga memiliki beberapa keterbatasan. De Vries (1994) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional mungkin sekali mengalami kegagalan. Pertama ketika seorang pemimpin sudah mendapatkan segala yang diinginkan sehingga merasa tidak ada lagi yang perlu dicapai, yang dinamakan “the faust syndrome”. Yang kedua adalah “the false connection” yaitu anggota tidak lagi menyadari keadaan yang terjadi di lingkungannya karena mereka hanya menjadi “yes man” yang hanya melakukan apa saja yang diperintahkan oleh atasannya. Yang ketiga adalah “the leadership fear”yaitu ketika pemimpin takut anggotanya akan berkhianat. Nadler and Tushman (1990) menambahkan beberapa kelemahan dari kepemimpinan transformasional. Diantaranya adalah harapan yang tidak realistis tentang visi yang ingin dicapai, ketergantungan yang berlebihan terhadap pimpinan, keterbatasan hak untuk memberikan suara karena pengaruh yang kuat dari pimpinan.

Kesimpulan

Setiap pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar untuk dapat mengarahkan bawahan menuju arah dan cita-cita yang diharapkan. Ada berbagai cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut. Diantaranya adalah dengan mengaplikasikan teori kepemimpinan transformasional. Teori ini sangat efektif untuk dipraktikkan oleh para pemimpin organisasi ataupun perusahan. Selain meningkatkan kinerja bawahan, kepemimpinan model ini juga akan menghasilkan extra effort oleh para bawahan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Dengan demikian, apabila bawahan sudah mau bekerja lebih untuk menjalankan tugasnya, tentu pada akhirnya akan lebih memudahkan dalam mencapai kesuksesan dan keberhasilan bersama.

Wallahu a’lam bisshawab..

This entry was posted on 04.05 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: